SADAR AKAN MATI

Oleh: Jimmy Jeniarto*

Kematian sangat mungkin merupakan suatu penemuan terhebat di dalam kehidupan” ~ (Steve Jobs) [1]

Sebagaimana mahluk hidup, manusia akan mati. Struktur fisiokimis manusia  sebagai kepaduan organis yang bios akan menjadi non-organis dan tidak bios.[2] Kematian manusia merupakan penghancuran tubuh (fisik) yang organik, menghilangkan prinsip hidupnya sebagai manusia (kehidupan rohaniah manusia), dan yang tertinggal adalah kimia penyusunnya, yang dari sana kemudian hidup organisme-organisme kehidupan yang lain.[3]

Selain naluri kehidupan, menurut Freud, pada setiap zat hidup terdapat naluri-naluri kematian.[4] Naluri kematian memiliki tujuan akhir kembali kepada keadaan yang tetap pada zat yang tidak organik. Penyurutan ke keadaan tidak organik merupakan tujuan dari yang organik. Kemunculan naluri kehidupan dan kematian ini terjadi suatu saat di dalam awal evolusi dunia.[5]

Namun tidak seperti mahluk alamiah lainnya, trasformasi bios menjadi non-bios pada manusia terdapat ciri khas, yakni karena manusia memiliki kesadaran. Pada mahluk hidup selain hewan dan manusia, kematian merupakan peristiwa berhentinya perkembangan fisik dan bios sebagai kepaduan. Sedangkan manusia dan hewan tidak sekedar mahluk yang bios, namun juga berkesadaran, meskipun pada hewan bukan manusia keadaan kesadaran tersebut sangat sederhana. Bersama dengan musnahnya fakta fisik dan bios, melenyap pula fakta kesadaran manusia sebagai pribadi. Fakta psikis akan melenyap seiring terjadinya disfungsi dan disintegrasi organisasi fisiokimis manusia yang bios.

Kesadaran tidak datang secara tiba-tiba langsung jadi. Kesadaran terbentuk melalui proses evolusi. Otak manusia, sebagaimana organ-organ tubuh yang lain, telah berevolusi meningkat dalam kerumitan dan kandungan informasi. Pada otak, materi berubah menjadi kesadaran. Sebuah pemikiran terdiri dari ratusan impuls-impuls elektrokimia.[6]

Manusia memiliki kesadaran paling kompleks dibanding mahluk hidup lainnya. Kesadaran manusia lebih kompleks dan maju daripada hewan tingkat rendah. Kesadaran manusia telah berada pada taraf reflektif, sedangkan hewan tingkat rendah bukan manusia belum mencapai taraf reflektif. Manusia dapat melakukan refleksi atas kesadarannya, ia memikirkan pikirannya sendiri.[7] Kesadaran manusia dijelaskan oleh Freud sebagai hasil dari perkembangan fungsi rohani manusia, dengan memisah tiga instansi yakni es, ich, dan ueberich (id, ego, super ego).[8] Akan tetapi, teori Freud belum lengkap jika digunakan untuk melihat apa yang terjadi di dalam masyarakat.[9]

Bagi Marx, kesadaran manusia merupakan produk sosial.[10] Manusia adalah mahluk masyarakat yang terlibat dalam proses produksi, hubungan kerja, dan hubungan milik. Hubungan-hubungan sosial tersebut merupakan dasar di mana perkembangan kesadaran manusia berlangsung. Bahasa verbal tercipta sebagai produk proses belajar manusia yang berinteraksi dengan sosialitas, dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Kemampuan bahasa pada manusia yang semakin kompleks dipengaruhi, terutama, oleh keharusannya untuk membuat peralatan dan rencana di dalam melangsungkan kehidupan. Bahasa merupakan bentuk verbal dari pikiran. Bahasa ada dikarenakan kebutuhan komunikasi (pergaulan) dengan orang lain, sehingga juga diperlukan bagi diri sendiri. Bahasa sama tua usianya dengan kesadaran, dan bahasa adalah kesadaran praktis.[11] Dengan kesadarannya, manusia mengetahui tentang diri dan realita.

Perkembangan pikiran manusia dipengaruhi oleh keterikatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup. Jika kebutuhan ekonomi menyerap seluruh energi manusia, maka hanya terdapat sedikit waktu bagi manusia untuk mengembangkan pikirannya. Ia butuh waktu luang untuk mengembangkan pikiran. Namun pikiran dikembangkan oleh pengalaman hidup. Sedangkan bahasa yang merupakan kesadaran praktis, secara dialektis merupakan alat pengembang pikiran sekaligus dikembangakan oleh pikiran. Manusia berpikir melalui bahasa. Dengan bahasa pula manusia mengetahui pikiran manusia yang lain. Tanpa bahasa, imajinasi tidak akan berkembang lebih jauh. Batas-batas bahasaku adalah batas-batas duniaku, demikian menurut Wittgenstein.[12]

Semua pikiran dengan cara yang berbeda-beda dipengaruhi oleh kondisi sosial. Demikian pula kesadaran terhadap kematian, juga dipengaruhi keadaan sosialitas manusia. Kesadaran terhadap kematian adalah bentukan pengalaman sosialitas. Insting kematian didapat dari pengalaman natural, sedangkan kesadaran kematian didapatkan dari pengalaman sosial.

Kesadaran akan kematian, menurut Heidegger, merupakan struktur apriori dan imanen kesadaran manusia.[13] Namun kematian tetap samar. Heidegger menganggap bahwa kematian merupakan gejala yang perlu dimengerti secara eksistensial. Manusia mengetahui kematian hanya dalam bentuk samar melalui fenomena.

Manusia mengetahui kematian berdasar peristiwa kematian orang lain, sebagai pengalaman umum. Pada taraf tersebut, kematian hanya sebatas merupakan fakta di luar diri, belum unsur eksistensial, atau belum menjadi kenyataan bagi diri pribadi.[14] Namun manusia sadar bahwa seluruh hidupnya sedang menuju ke peristiwa tersebut. Pengetahuan tentang keniscayaan kematian bagi dirinya diperoleh dari perjumpaannya dengan fakta kematian manusia lain. Pengalaman manusia mengetahui peristiwa kematian yang terjadi pada orang lain tersebut menimbulkan kecemasan pada kesadaran dirinya. Ia mulai cemas secara sadar.[15]

Bagi manusia, kematian tidak hanya menghalangi perkembangannya lebih lanjut, serta memutuskan harapan terhadap sesuatu yang lebih besar, tetapi juga membinasakan semua yang telah dicapai dan yang dianggap tidak musnah. Segala aspirasinya musnah.[16]

Kematian diterima nalar manusia sebagai kejadian yang menimbulkan kecemasan puncak, bahkan meskipun nalar manusia berusaha menolak pikiran kecemasan tersebut. Kecemasan adalah penderitaan bagi manusia. Manusia menginginkan kebahagiaan, dan ia selalu berusaha menghindari penderitaan. Kebahagiaan adalah ketenangan, dan, sebagaimana menurut Freud, insting selalu berusaha untuk mengembalikan dari ketegangan ke keadaan tenang.

Manusia mulai menghibur diri agar dapat menyambut kematian dengan lebih tenang. Keadaan tenang ini penting bagi manusia di dalam melanjutkan kehidupannya. Manusia kemudian selalu mereka-reka agar tercipta suasana yang dapat membuat kesadarannya tenang. Namun ia tetap berhadapan dengan ketidakpastian. Kecemasan tentang kematian merupakan siksaan menyakitkan di dalam usia hidup kesadarannya. Ia tidak berdaya di hadapan kenyataan peristiwa kematian. Manusia kemudian mulai memproyeksikan ketidakberdayaan tersebut.

Menurut Bergson, keinsafan manusia bahwa kematian tidak dapat dihindarkan telah menimbulkan kecemasan dan fatalisme. Karena itu, menurutnya, agama menyediakan gambaran mengenai kehidupan sesudah kematian, yang akan membebaskan manusia dari fatalisme.[17] Sedangkan bagi Feuerbach, agama adalah proyeksi dari esensi manusia. Hubungan antara manusia dengan tuhan adalah hubungan antara manusia dengan hal spiritual dari dirinya sendiri.[18]

Feuerbach menganggap bahwa substansi dan objek dari agama adalah manusia, kebijaksanaan tuhan adalah kebijaksanaan manusia, dan bahwa pikiran absolut adalah pikiran subjektif yang terbatas. Tidak ada esensi lain yang manusia dapat pikirkan, impikan, bayangkan, rasakan, yakini, harapkan, cintai, dan puja sebagai absolut kecuali esensi sifat manusia itu sendiri.[19] Dengan demikian, ketidakmampuan manusia memahami kematian kemudian diproyeksikannya ke dalam agama. Ajaran-ajaran agama mengenai kehidupan baka setelah kematian hanya mampu memberikan gambaran yang samar-samar sebagai sebuah kiasan.[20]

Camus menganggap persoalan fundamental filsafat adalah soal bunuh-diri. Persoalan bunuh-diri ini menjadi lebih dapat dipahami melalui mekanisme insting kematian dan proses tekanan yang terjadi di dalam super ego (ueberich) pada Freud. Bagi Sokrates, sebagaimana tergambar di dalam percakapannya di dalam Faidon-nya Plato, terutama dengan Krito, kematian perlu disambut dengan penuh ketenangan. Pada detik-detik menjelang kematiannya, Sokrates, yang dihukum mati, dengan penuh ketenangan mengangkat cawan berisi racun cemara, dan meminumnya.[21] Sokrates menyambut kematian dengan berusaha tenang.

Di dalam dialog tersebut, Plato memberi definisi filsafat sebagai studi tentang kematian. Mereka yang berfilsafat secara tepat adalah sedang belajar tentang bagaimana mereka akan mati. Dan jika waktu kematian tersebut tiba, mereka tidak akan takut pada kematian.[22] Hampir sama, Seneca memahami seluruh usaha filsafat sebagai suatu permenungan mengenai kematian (meditatio mortis).[23]

Di dalam bahasa Yunani terdapat kata τέλος (telos) yang memiliki dua arti, yakni “tujuan” dan “akhir”. Di dalam konteks kehidupan, dua arti kata ini kemudian bertemu di dalam kematian. Tujuan dari kehidupan adalah kematian, dan akhir dari kehidupan adalah kematian. Tujuan sekaligus akhir dari kehidupan adalah kematian.[24] Freud mengatakan bahwa hidup adalah lingkaran ke arah mati.[25]

Manusia sadar hidupnya sedang berproses di dalam waktu ke tujuan dan akhir: kematian. Ketika manusia sampai di tujuan dan akhir, maka waktu subjektif juga berhenti. Kematian adalah batas waktu yang dimiliki manusia. Waktu subjektif berhenti di batas tersebut. Kematian adalah batas manusia. Kematian adalah subjektif dan misterius. Di dalam kematian, manusia menemukan dirinya benar-benar sendiri.

Ia sadar kehidupannya ada di dalam waktu, sekaligus sadar bahwa waktu yang dimilikinya terbatas. Akhirnya, manusia perlu berpegang pada keyakinan filosofis, agar ia mampu memberi makna pada kehidupan, pada eksistensinya. Hal ini akan berdampak pada makna apa yang diberikannya pada waktu terbatas yang dimilikinya.***

*Alumnus Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada

Catatan:


[1] Steve Jobs. Ceramah di Standford University pada tahun 2005. http://www.guardian.co.uk/technology/2011/oct/06/steve-jobs-pancreas-cancer?intcmp=239, diakses: 6 Oktober 2011, jam 06:07 PM. Dapat dilihat juga di: http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=D1R-jKKp3NA

[2] Anton Bakker.1995. Kosmologi & Ekologi, Filsafat Tentang Kosmos Sebagai Rumah Tangga Manusia. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. Bab 12 tentang Kematian Kosmos.

[3] Frederick Engels. 1946. Dialectics of Nature. London: Lawrence and Wishart, Ltd. (translated and edited by Clemens Dutt). Hlm. 164.

[4] Naluri (instincts) didefinisikan sebagai suatu keadaan pembawaan yang menentukan arah proses-proses rohaniah. Naluri memiliki sumber, maksud, tujuan, dan dorongan. Sumber-sumber terpenting energi naluriah adalah keperluan-keperluan jasmaniah atau gerak hati (proses penegangan dalam suatu jaringan atau anggota badan yang kemudian mengeluarkan energi yang disimpan dalam badan). Tujuan akhir naluri adalah penyingkiran kebutuhan jasmaniah. Selain tujuan akhir, Freud juga melihat adanya tujuan perantara, dan Freud menamakan tujuan akhir sebagai tujuan dalam (internal aim) dan tujuan perantara sebagai tujuan luar (external aim). Daya dorong satu naluri adalah kekuatannya atau tenaganya yang ditentukan oleh jumlah energi yang dimiliki. Tempat naluri ada di dalam Id. Lihat Calvin s. Hall 1959. Sigmund Freud, Suatu Pengantar ke Dalam Ilmu Jiwa Freud. Jakarta. PT Pembangunan.hlm.48-49.

[5] Calvin s. Hall. op cit., hlm. 78-79.

[6] Carl Sagan. 1997. Kosmos. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. (Judul asli: Cosmos. Penterjemah: Bambang Hidayat, Djuhana Widjajakusumah, dan S. Maimoen). Hlm. 359-361.

[7] Sartre melakukan eksplorasi pada kesadaran reflektif ini, dengan mendasarkan pada pembagiannya tentang Ada sebagai etre-en-soi dan etre-pour-soi.

[8] Sebelum Freud menghadirkan konsepsi “ketidaksadaran dinamis”, permulaan psikologi modern menganggap hidup psikis sama dengan kesadaran. Lihat Kees Bertens. 2000. Etika. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 67-68. Bertens menyebutkan bagaimana pikiran Descartes (1596-1650) mempengaruhi permulaan psikologi modern yang menganggap hidup psikis adalah identik dengan kesadaran. Setelah teori Freud muncul, terjadi perdebatan dengan para ahli ilmu jiwa tentang jiwa sadar dan tak sadar, meskipun pertentangan tersebut tak pernah mencapai putusan akhir.  Para ahli ilmu jiwa menyatakan apa yang disebut Freud sebagai jiwa tak sadar merupakan kontradiksi istilah, karena bagi mereka jiwa menurut definisinya adalah sadar. Lihat Calvin s. Hall. op cit., hlm. 73.

[9] Erich Fromm. 1999. Lari Dari Kebebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Judul Asli: Escape From Freedom. Penterjemah: Kamdani) Hlm. 7-9. Fromm menggunakan term “statis”untuk menilai teori Freud tentang hubungan individu dan masyarakat. Namun, dalam kasus ini, saya lebih suka menggunakan term “mekanis”, meskipun memang benar bahwa jika dilihat  dalam seluruh proses sejarah, kwalitas kesadaran hanya akan menjadi statis. Menurut Freud, individu tetap sama, dan berubah hanya sejauh masyarakat menekan lebih kuat dorongan alamiah (terjadi sublimasi) atau memberi pemuasan (kebudayaan dikorbankan). Di sisi lain, saya sependapat dengan Fromm bahwa masyarakat tidak hanya merupakan fungsi penekan, namun juga sebagai fungsi pembentuk. Sifat, nafsu, dan kecemasan manusia secara dialektik adalah produk kebudayaan.

[10] Karl Marx & Frederick Engels. 1964. The German Ideology. Moscow: Progress Publishers. (Translated from the German. Edited by S. Ryanzanskaya) Hlm.41-42.

[11] Karl Marx & Frederick Engels. Ibid. Hlm. 42.

[12] “Die Grenzen meiner Sprache bedeuten die Grenzen meiner Welt”. Ludwing Wittgenstein. 1995. Tractatus Logico-Philosophicus. London and New York: Routledge. (German Text with an English Translation, en regard by C.K. Ogden. Introduction by: Bertrand Russell). Hlm. 148.

[13] Hardono Hadi. 2002. Jati Diri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 164

[14] Anton Bakker. 2000. Antropologi Metafisik. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. Bab 12 tentang Kematian Manusia.

[15] Menurut Freud, kecemasan merupakan pengalaman perasaan yang menyakitkan yang ditimbulkan oleh ketegangan-ketegangan dalam alat-alat intern dari tubuh. Kecemasan berbeda dari keadaan menyakitkan lainnya, seperti ketegangan, rasa nyeri, dan kesayuan oleh adanya satu keadaan tertentu pada alam sadar. Namun, kecemasan adalah suatu keadaan sadar. Seseorang tidak mungkin tidak menyadari bahwa dirinya sedang cemas, meskipun mungkin ia tidak mengetahui penyebab kecemasan tersebut. Akan tetapi, Freud sendiri tidak mengetahui apa yang menentukan keadaan kecemasan ini, dan hanya mengira mungkin merupakan sifat yang khusus dari ketegangan-ketegangan intern itu sendiri. Menurutnya terdapat tiga macam kecemasan, yakni reality or objective anxiety, neurotic anxiety, dan moral anxiety. Lihat Calvin s Hall. op cit., hlm. 83-95.

[16] Anton Bakker. 2000. op cit., hlm. 297.

[17] Kees Bertens. 1996. Filsafat Barat Abad XX, Jilid II, Prancis. Jakarta: Gramedia. Hlm. 24.

[18] Ludwig Feuerbach. 2008. The Essence of Christianity. Walnut: MSAC Philosophy Group. (Translated from the original German by George Elliot, with foreword by Rachel V Kohout Lawrence). Hlm. 145.

[19] Ludwig Feuerbach.  Ibid. Hlm. 221.

[20] Hardono Hadi. op cit. Hlm. 180.

[21] Plato. 1971. “Phaedo” (117c). Di dalam  The Collected Dialogues of Plato, Including The Letters. New Jersey: Princeton University Press.  (Translated by: Hugh Tredennick. Edited by: Edith Hamilton and Huntington Cairns). Hlm. 97.

[22] Dimitris Liantinis. 1997. Video dokumenter kuliah:  Philosophical Consideration of Death. Cinematography Military Service (Translation in the English by Charis Paraskevopoulou and George Manolopoulos). Dapat dilihat di: http://www.youtube.com/watch?v=KuglHhTBpks

[23] P.A. van der Weij. 1988. Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia. Jakarta: Gramedia. (Judul asli: Grote filosofen over de mens. Penterjemah: K. Bertens). Hlm. 175.

[24] Dimitris Liantinis. Op cit.

[25] Callvin S Hall, op cit., Hlm. 79.


One response to “SADAR AKAN MATI

  1. Kematian adalah sebuah ketentuan dari alam kehidupan yang bersifat aksiomatik terhadapnya, setiap makluk hidup apapun jenisnya, mulai dari yang bersel tunggal hingga manusia seolah menyadari keterbatasannya dalam mewaktu, tetapi justru karena kesadaran itulah yang memunculkan naluri untuk melanggengkan jenisnya dengan berbagai cara, mulai dari spora, biji, akar, telur, melahirkan bayi dlsb. Hanya pada manusialah kesadaran akan kematian itu justru dianggap sesuatu yang menakutkan, untungnya manusia dikaruniai akal/pikiran untuk menyikapi hal tsb secara cerdik yaitu dengan mengembangkan nilai-nilai, harapan-harapan surgawi dlsb sehingga seolah olah itu merupakan mantra supaya kita dapat menghadapi kematian dengan gagah berani. Dalam pandangan saya, kematian hanya menakutkan ketika kita sebagai makhluk yang berakal budi, berada pada suatu situasi yang menurut nalar kita masih jauh dari kematian tsb (kematian alami karena usia), yaitu ketika kita masih muda dan sehat jasmani rohani, masih produktif serta masih punya banyak mimpi didunia ini. Karena itu semua bangunan nilai-nilai pra kematian se akan-akan menjadi suatu keharusan untuk digenapi guna menyongsong kematian itu dengan tegar. Pada kenyataannya, kematian seorang manusia adalah sesuatu yang diharapkannya sendiri dan kemudian dijalaninya sendiri denga keikhlasan yang menakjubkan, Kematian adalah sebuah peristiwa kepasrahan total diri manusia terhadap batasnya sendiri, karena ketika sesorang merasa sudah mencapai batasnya, tidak ada lagi yang dimintanya selain kematian itu sendiri, oleh sebab itu didalam menyongsong kematian, seseorang pasti mempunyai harapan akan sebuah awal yang baru, sebuah kelahiran yang baru entah dimana lengkap dengan batas-batasnya juga.

Leave a comment