4 X 6 = JOKOWI X PRABOWO

Oleh: JIMMY JENIARTO*

Masih soal 4 x 6 atau 6 x 4. Pelajaran anak kelas 2 Sekolah Dasar yang mengganggu kecerdasan banyak orang dewasa beberapa waktu lalu. Persoalan tersebut seolah mengakibatkan banyak orang dewasa menjadi bertambah pintar, atau malah menjadi bertambah bodoh. Apa yang hendak disampaikan oleh persoalan 4 x 6 atau 6 x 4 tersebut adalah tentang konsep dan himpunan.

Selama ini, banyak orang yang mengalami kegagalan argumen disebabkan oleh kekacauan di dalam memahami konsep dan himpunan. Misalnya, orang yang tidak setuju dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui DPR serta-merta dimasukkan ke dalam himpunan pendukung Jokowi. Bahkan, dianggap sebagai pendukung PDI-P. Demikian pula, orang yang mengkritik Jokowi langsung dituduh sebagai pendukung Prabowo. Anti Jokowi disamakan begitu saja dengan pro-Prabowo, atau pro-Koalisi Merah Putih.

Banyak aktivis pro-demokrasi yang menganggap demokrasi sama dengan kebebasan. Meski terdapat keterkaitan di antara keduanya, namun demokrasi tidak identik dengan kebebasan. Demokrasi pernah membungkam kebebasan bicara di Yunani. Sokrates merupakan salah satu korban awal demokrasi. Sokrates dihukum mati oleh suara orang banyak, berdasar keputusan mayoritas. Sokrates sering lantang berbicara kritis. Kebebasan bicara Sokrates akhirnya dibungkam oleh demokrasi Athena. John Stuart Mill menyebut peristiwa pengadilan Sokrates sebagai tirani mayoritas.

Di masa lalu, rezim Orde Baru di bawah Soeharto melakukan pembodohan secara sengaja dan sistematis terhadap rakyat Indonesia sendiri. Rezim Soeharto dengan sengaja menggagalkan penalaran rakyat Indonesia demi melanggengkan kekuasaan. Peristiwa seputar gerhana matahari di tahun 1983 adalah contoh paling vulgar tentang bagaimana rezim Orde Baru mengolok-olok nalar rakyat Indonesia sendiri. Hebatnya, tidak sedikit rakyat Indonesia yang menyanjung-nyanjung Soeharto dan tidak merasa dibodohi. Semua terjadi berkat keahlian barisan cendekiawan budak Orde Baru.

Jejak-jejak peninggalan penggagalan-nalar yang dilakukan oleh rezim Soeharto masih terpelihara hingga saat ini. Orang yang anti Barat dianggap sebagai anti kapitalisme. Orang komunis dianggap atheis. Orang yang tidak beragama dianggap tidak bertuhan. Padahal, anti Barat berbeda terhadap anti kapitalisme. Komunisme tidak sama dengan atheisme. Orang bertuhan belum tentu memiliki agama.

Di dalam teori politik maupun praktek politik, 4 x 6 tidak selalu sama dengan 6 x 4. Professor Ilmu Politik dari Universitas Gadjah Mada, Amien Rais, telah mengajarkan pada kita tentang hal ini. Belasan tahun yang lalu, Amien Rais berkata: “Soeharto dan para zombinya tidak boleh bergerak ke permukaan lagi”.[1] Jika apa yang dimaksud “zombi” oleh Amien Rais adalah para pejabat pendukung pemerintah Soeharto di era Orde Baru, maka pada pemilihan presiden 2014 lalu, Amien Rais malah mendukung dan memuji-muji calon presiden yang merupakan salah satu zombi Soeharto di era Orde Baru. Demikian pula, partai yang memakai embel-embel “demokrasi” tidak selalu identik dengan demokrasi itu sendiri. Kekuasaan seorang patron tidak jarang membatalkan kekuasaan demokrasi anggota-anggota di partai bersangkutan. Silahkan tanya hal ini pada para elit PDI-P dan Partai Demokrat.

Di bidang ekonomi, hitung-hitungan matematika akan berkaitan dengan hukum supply-demand, penawaran dan permintaan. Misal, di dalam politik uang Pemilu (pemilihan umum), harga rupiah suara 4 orang anggota DPR adalah lebih mahal dibandingkan harga rupiah suara 4 orang rakyat biasa. Perbedaan harga juga terjadi pada jenis Pemilu, yakni antara Pemilu presiden, Pemilu kepala daerah, Pemilu legislatif pusat, dan Pemilu legislatif daerah. Berlaku atau tidaknya ketentuan perhitungan tersebut juga akan disesuaikan dengan keadaan terpenuhi atau tidaknya asumsi cateris paribus.

Surat Kabar memberitakan tentang seorang pencuri ayam yang dihajar ramai-ramai oleh massa hingga babak-belur berdarah-darah. Jika si Pencuri tersebut masih hidup, maka ia akan dibawa ke pengadilan, menjalani hukuman penjara, dan setelah bebas dari penjara akan menerima sanksi sosial. Bagaimana dengan para pejabat negara dan politisi? Apakah massa juga akan ramai-ramai memukuli orang-orang seperti Susno Duadji, Andi Malarangeng, Anas Urbaningrum, Luthfi Hasan Ishak, dan juga Suryadharma Ali? Siapa yang lebih tidak bermoral di antara si Pencuri ayam dan para pejabat negara serta politisi tersebut? Sudah adilkah hukuman yang diterima oleh si pencuri ayam? Mungkin si Pencuri ayam lebih bodoh di dalam pengetahuan tentang hukum dan agama, dan mungkin ia tidak peduli dengan persoalan hitung-hitungan 4 x 6 atau 6 x 4 beberapa waktu lalu. Namun ia mungkin tidak akan gagal menyelesaikan hitung-hitungan tentang harga yang harus ia bayar dan harga yang harus dibayar oleh para pejabat negara dan politisi korup yang juga sama-sama pencuri, bahkan perampok: bahwa ia adalah anggota himpunan rakyat kecil.

Diagram politik nasional saat ini seolah terbagi menjadi dua himpunan kubu, yakni kubu Jokowi dan kubu Prabowo, di mana keduanya dibiayai oleh para konglomerat kaya. Namun, jalan penyelesaian tingkat elit yang dilakukan oleh kedua kubu terkait persoalan Pilkada telah memberi gambaran bahwa para elit tersebut tidak mempercayai kekuatan rakyat. Rakyat dianggap bodoh dan tidak bermoral sehingga tidak becus membuat pilihan-pilihan dan tidak becus menentukan keputusan sendiri terkait persoalan Pilkada. Para elit telah memisahkan diri dari rakyat dan meninggalkan rakyat. Maka, peta himpunan yang muncul kemudian adalah himpunan rakyat berhadap-hadapan dengan himpunan para elit dan konglomerat kaya.

Mungkin saat ini warga Indonesia yang merasa berusia dewasa masih harus perlu mengulang pelajaran anak kelas 2 Sekolah Dasar. Belajar persoalan 4 x 6 atau 6 x 4, untuk belajar tentang definisi, pembagian, dan klasifikasi. Belajar tentang proses-proses penalaran. Albert Einstein sendiri senang menceritakan persoalan-persoalan fenomena alam yang pernah ia temui ketika ia masih berusia anak-anak, dan tentu mempengaruhi perjalanan hidupnya sebagai seorang ahli fisika dan matematika.***

* Penulis adalah tukang serabutan

Catatan: [1] Amien Rais, 1998. “Tiga Resep Mengatasi Kemelut”, Di dalam Melangkah Karena Dipaksa Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm 50.

Leave a comment