EPICURUS: HIDUP TANPA PENDERITAAN, MATI TANPA KETAKUTAN

Oleh: Victor Delvy Tutupary*

Dengan empat obat mujarabnya, Epicurus mencoba memberanikan diri sebagai ahli terapi bagi penyakit kronis yang menyebabkan ketidakbahagiaan hidup dan mengusir jauh-jauh rasa takut akan kematian. Untuk selanjutnya, pemikiran-pemikiran Epicurus akan dievaluasi dengan filsafat Whitehead.

I. LATAR BELAKANG KEHIDUPAN
A. Jaman Helenistis

Di dalam sejarah filsafat Barat dikisahkan bahwa Epicurus adalah salah satu filsuf jaman Helenistik yang mendirikan mazhab Epicureanisme. Sebelum sampai pada pemikiran Epicurus, sebaiknya dijelaskan terlebih dahulu mengenai jaman Helenistis. Di kawasan yang berbahasa Yunani, jaman Helenistis adalah periode kekuasaan Makedonia, yang sisa-sisa terakhirnya terhapuskan oleh aneksasi Romawi terhadap Mesir sesudah kematian Cleopatra. Periode ini dicirikan oleh penaklukan dan kekacauan.

Gejolak dan situasi jaman pada saat itu membuat filsuf-filsuf Helenistik memiliki keunikan tersendiri dalam beberapa hal jika dibandingkan dengan filsuf-filsuf zaman sebelumnya. Jika filsuf pra-Sokrates seperti Thales, Anaximandros, dsb. sibuk memikirkan alam, lalu trio Sokrates-Plato-Aristoteles berusaha membangun sistem-sistem filsafat yang utuh, maka filsuf Helenistik lebih sibuk bertungkus lumus menjelaskan tentang etika, keutamaan, dan bagaimana menjalani kehidupan ini. Helenistik melahirkan beberapa aliran pemikiran, antara lain kaum Stoisisme, Skeptisisme, Sinisme, dan Epikureanisme.

Corak khas filsuf Helenistik adalah kesepakatan bahwa filsafat harus menjadi terapi bagi kehidupan, agar hidup manusia menjadi baik dan berbahagia di tengah-tengah penderitaan hidup. Hal ini disebabkan karena iklim sosial saat itu ketika kekuasaan politik beralih ke tangan orang-orang Makedonia, para filsuf Yunani mulai menyingkir dari politik dan mencurahkan diri pada masalah keutamaan atau keselamatan individu. Mereka tak lagi menanyakan bagaimana manusia bisa menciptakan Negara yang baik? Yang lebih mereka pertanyakan adalah: bagaimana manusia bisa tetap luhur di dalam dunia yang durjana, atau berbahagia di dalam dunia yang sarat derita (Russell, 2002: 314).

Dengan demikian, filsafat hendaklah berkenaan dengan etika hidup sehari-hari. Filsafat sebagai seni untuk hidup. Epictetus, salah satu filsuf moral Stoa percaya bahwa tujuan filsafat bukanlah untuk mendapatkan penghargaan publik tetapi lebih untuk menjadi seorang warga dunia yang baik. Antisthenes, cikal bakal ajaran Sinisme, menyatakan bahwa segala filsafat yang serba muluk ia anggap tidak ada gunanya; apa yang bisa diketahui, haruslah bisa diketahui oleh orang kebanyakan. Begitu pun dengan Epicurus sebagai pendiri mazhab Epicureanisme yang menyatakan bahwa filsafat adalah aktivitas yang berisi argumen dan diskusi yang membawa kita pada kehidupan yang bahagia.

B. Sekilas Tentang Epicurus

Epicurus sebagai salah satu filsuf Helenistik yang sangat berpengaruh juga mewarisi watak khas Helenistik yang menekankan filsafat untuk bagaimana membuat hidup ini bisa lepas dari penderitaan. Dengan demikian, etika hidup menjadi tema besar dari filsuf yang hidup sekitar bulan Februari tahun 341 SM dan meninggal tahun 270 SM ini.

Epicurus lahir dari keluarga miskin. Orang tuanya, Neocles dan Chaerestrate, berasal dari Athena tetapi tinggal di Samos. Isu-isu yang disebarkan oleh kaum Stoa mengatakan bahwa Ibunya adalah seorang dukun, dan Epicurus kecil sering menemani ibunya berkeliling untuk membaca doa-doa purifikasi. Entah benar atau tidak, yang jelas pada umur sepuluh tahun, Epicurus pernah belajar filsafat pada Pamphilus, seorang murid Plato. Selain itu, ia juga pernah belajar filsafat pada Nausiphanes seorang murid Democritos. Bisa dikatakan, dari Nausiphanes-lah, Epicurus mendapat banyak masukan dari pemikiran Atomisme ala Demokritos yang kelak sangat penting sebagai pondasi dasar bangunan filsafat yang ia susun.

Pada tahun 311 SM Epicurus mendirikan sekolahnya yang pertama di Mytilene, kemudian ia pindah ke Lampsacus dan juga mendirikan sekolah. Pada tahun 306 SM ia kembali ke Athena, dan mendirikan sekolahnya yang cukup terkenal dengan nama Taman (The Garden). Sesuai dengan namanya, sekolah ini berlangsung di sebuah taman di areal rumah Epicurus. Murid-murid Taman, tidak hanya sekedar mendengarkan ajaran-ajaran Epicurus, tetapi juga merupakan komunitas yang teguh menjalankan ajaran-ajaran guru mereka.

Semasa hidupnya, dikabarkan bahwa Epicurus telah menulis sekitar tiga ratus buku yang sayangnya hingga saat ini tidak terselamatkan satu pun. Yang tersisa hanyalah beberapa surat-surat Epicurus kepada sahabat-sahabatnya dan beberapa fragmen-fragmen yang diberi judul On Nature. Narasumber kehidupan dan ajaran-ajaran Epicurus adalah buku X, Lives of Eminent Philosophers, karya Diogenes Laertius. Sedangkan, ajaran-ajaran Epicurus masih bisa terwariskan dengan baik oleh salah satu murid Epicurus paling terkenal yakni Titus Lucretius Carus (99-55 SM), seorang penyair Latin yang menggubah pemikiran-pemikiran Epicurus dalam bentuk syair-syair yang berjudul On the Nature of Things.

Menjelaskan Pemikiran Epicurus dengan lengkap adalah usaha yang mustahil, bukan karena filsafat Epicurus sulit dipahami sehingga para ahli filsafat di luar sana, yang berkepala botak dan dahi berkerut tidak mampu mengurainya, tetapi jumlah karyanya yang terhitung 300 buku itu sudah hilang seluruhnya. Penyebab hilangnya buku-buku karya Epicurus sampai sekarang belum dapat dijelaskan dengan pasti. Beberapa karya Aristoteles dan Plato masih bisa bertahan sampai sekarang, tetapi karya-karya Epicurus tidak bernasib sama. Jika hendak berspekulasi, sesungguhnya hal ini bisa dengan mudah dijelaskan dengan melihat ajaran-ajaran Epicurus yang tidak terlalu disukai saat itu.

Epicurus bukan seorang bangsawan, ia hanya orang biasa yang hanya bergaul dengan komunitas Taman yang ia bentuk. Di kalangan para filsuf sendiri, setelah kekuasaan Augustus, ada kesepakatan untuk menolak filsafat Epicurus demi menerima ajaran kaum Stoa. Dengan munculnya abad Kristianitas, ajaran Epicurus yang materialistik dan menolak Penyelenggaran Ilahi jelas telah dianggap bid’ah dan menyesatkan, bahkan dituduh sebagai ajaran ateisme. Namun, ajaran Epikurus tidak hilang begitu saja, kelak di Inggris lahirlah Utilitarianisme yang dipelopori oleh Mill dan kemudian dilanjutkan oleh Bentham, yang dalam banyak hal masih meneruskan keutamaan-keutamaan Epicureanisme. Tetapi ini cerita lain lagi, sebab hanya dengan berdasar pada beberapa surat-surat menyurat antara Epicurus dengan murid dan sahabatnya, pemikiran Epicurus dapat diketahui sampai sekarang.

II. EPICURUS DAN EMPAT OBAT MUJARAB (TETRAPHARMAKOS)

Adalah sangat berguna jika memulai pembahasan tentang filsafat manusia Epicurus dengan terlebih dahulu mengetahui keyakinan Epicurus bahwa filsafat harus menjadi terapi bagi lara hidup manusia. Dengan demikian, bagi Epicurus, para filsuf yang tidak berfilsafat untuk melipur lara hanya sekedar membawa kata-kata kosong yang tak berguna. “for just as there is no use in medical expertise if it does not give therapy for bodily diseases, so too there is no use in philosophy if it does not expel the suffering of the soul”, kata Epicurus (Jordan, 1992: 138).

Filsafat Epicurus adalah reaksi atas jamannya yang penuh kekacauan, sehingga ajarannya adalah tentang bagaimana cara agar manusia bisa hidup terlepas dari penderitaan dengan membangun dasar-dasar bagi apa yang disebutnya sebagai keutamaan hidup. Filsafat Epicurus adalah etika sebagai seni hidup yang dijalankan berdasarkan keutamaan.

Apa yang dimaksud dengan keutamaan? Menurut Epicurus keutamaan hidup adalah kebijaksanaan (prudence) untuk mengejar kenikmatan. Kenikmatan diartikan secara negatif yakni tidak adanya rasa sakit dan kegelisahan hidup. Kenikmatan adalah  α dan Ω (awal dan akhir) hidup yang bahagia. Namun, apa yang disebut kenikmatan tidak selalu mudah diperoleh oleh manusia. Selalu ada hambatan-hambatan dalam memperoleh keutamaan mengejar kenikmatan. Bagi Epicurus, hambatan-hambatan itu muncul akibat adanya kecemasan manusia yang bersumber dari rasa takut manusia pada dewa dan rasa takut akan kematian. Maka, untuk menghilangkan kecemasan tersebut, Epicurus yang percaya bahwa filsafat adalah terapi bagi kehidupan, memberikan empat obat mujarab (fourfold remedy) yang disebut tetrapharmakos: “(1) God presents no fears, (2) death no worries. And while (3) good is readily attainable, (4) bad is readily endurable.” Secara keseluruhan, tetrapharmakos adalah kata kunci dari filsafat Epicurus, oleh sebab itu penjelasan atas filsafat manusia Epicurus bisa dirujuk kepada penjelasan tentang tetrapharmakos.

Dalam memahami pemikiran Epicurus dengan baik, sebaiknya dijelaskan satu-persatu tentang keempat obat mujarab tersebut. Untuk memudahkan sistematisasi pemikiran maka akan dimulai dari dua obat yang disebut terakhir, “while good is readily attainable, bad is readily endurable,” lalu dilanjutkan dengan dua obat yang pertama dan kedua.

1. “Apa yang Baik Mudah Diperoleh, Apa yang buruk Mudah Dihindari”

Pernyataan “apa yang baik mudah diperoleh, apa yang buruk mudah dihindari” merujuk pada penjelasan lebih lanjut atas konsep Epicurus tentang keutamaan dan kenikmatan. Yang dimaksudkan Epicurus dengan “apa yang baik” adalah kenikmatan itu sendiri yang menuntun manusia pada keutamaan hidup, sebaliknya “apa yang buruk” adalah hal-hal yang menghalangi manusia menuju keutamaan. Jika “apa yang baik” adalah kenikmatan, lalu apa sesungguhnya kenikmatan yang dimaksud oleh Epicurus?

Pada bagian sebelumnya, sejenak telah disinggung tentang apa yang dimaksud Epicurus dengan kenikmatan. Namun, perlu adanya penjelasan lebih lanjut, sebab kenikmatan memiliki banyak jenis. Setidaknya, secara umum yang diketahui, ada dua jenis keinkmatan yakni kenikmatan tubuh dan kenikmatan batin.

Di dalam bukunya The End of Life, Diogenes Laertius, mengutip kata-kata Epicurus, “Aku tidak tahu bagaimana caranya mengonsepsikan kebaikan, jika aku menghindari kenikmatan lidah, menghindari kenikmatan cinta, serta kenikmatan-kenikmatan pendengaran dan penglihatan” (Russell, 2002: 332). Apakah yang dimaksudkan dengan kenikmatan hanya kenikmatan fisik semata? Epicurus menjawab tidak. Banyak pembaca Epicurus yang salah menafsirkan filsafat Epicurus pada titik ini. Epicurus dianggap sebagai pelopor hedonisme yang hanya mementingkan kenikmatan dan kesenangan lahiriah. Meskipun ia mengatakan bahwa permulaan dan akar semua kebaikan adalah kenikmatan perut, hal ini tidak dimaksudkan bahwa kenikmatan tubuh adalah satu-satunya kenikmatan yang bisa dinikmati manusia. Ada kenikmatan batin yang merupakan kontemplasi atas kenikmatan-kenikmatan tubuh.

Dalam suratnya kepada Menoeceus, Epicurus secara panjang lebar menjelaskan tentang kenikmatan/kesenangan:

“Kesenangan adalah nilai pertama yang kita miliki sejak lahir, nilai itulah yang mengarahkan dalam segala apa yang kita usahakan maupun kita hindari, padanya kita arahkan diri kita, karena kita mengukur segala nilai dengan tolak ukur kesenangan. Justru karena kesenangan merupakan nilai kita yang pertama dan alami, kita juga tidak tertarik pada segenap kesenangan, melainkan kadang-kadang membiarkan banyak kesenangan lewat apabila kita khawatir bahwa kesenangan akan menimbulkan suatu perasaan tidak enak yang lebih besar. Kita bahkan kadang-kadang menilai banyak perasaan sakit lebih unggul daripada kesenangan-kesenangan, yaitu apabila masa penderitaan yang agak panjang akan disusul oleh kesenangan yang semakin besar. Jadi, bagi kita setiap kesenangan, karena ia pada dirinya sendiri enak, memang merupakan seuatu yang baik, akan tetapi tidak setiap kesenangan hendaknya diusahakan, sama seperti sebaliknya setiap perasaan sakit memang merupakan hal yang buruk, akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa perasaan sakit selalu harus dihindari. Adalah tugas kita, dengan mempertimbangkan dan membedakan yang menguntungkan dan merugikan, untuk selalu menilai segala apa dengan tepat, karena kadang-kadang kita memakai yang baik seakan-akan dia buruk dan sebaliknya” (Epicurus dalam Magnis-Suseno, 1997: 68).

Pada teks di atas, dapat dilihat bahwa kesenangan atau kenikmatan yang dimaksud oleh Epicurus berkenaan dengan dua jenis kesenangan, yakni kesenangan tubuh dan kesenangan mental atau batiniah. Kesenangan adalah prinsip utama kehidupan. Tujuan dari kehidupan manusia. Di kemudian hari, Freud mengembangkan prinsip kesenangan sebagai prinsip yang paling mendasar dalam kehidupan manusia, di samping prinsip realitas.

Dualitas yang dikemukakan oleh Freud tentang prinsip kesenangan dan prinsip realitas sesungguhnya sudah muncul dalam teks Epicurus di atas. Menurut Freud, manusia pada dasarnya adalah makhluk yang selalu ingin bersenang-senang. Prinsip kesenangan menggerakan manusia untuk selalu memuaskan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dapat membuatnya senang. Namun, apabila manusia hanya mengikuti kesenangannya semata, manusia akan cenderung destruktif dan berbahaya. Oleh karena itu, prinsip realitas adalah pagar bagi manusia untuk mengekang hasratnya untuk memuaskan segala kesenangan yang melintas di depan pintu rumahnya.

Jika pada Freud kesenangan direduksi pada nafsu libido, maka pada Epicurus kesenangan tubuh adalah yang pertama kali muncul dan dirasakan oleh manusia. Bahkan nilai-nilai dan kebudayaan sesungguhnya lahir dari kesenangan tubuh, “permulaan dan akar semua kebaikan adalah kenikmatan perut; bahkan kebijaksanaan dan kebudayaan pun harus dikembalikan pada hal ini.” Namun, yang perlu diingat adalah bahwa tidak semua keinginan ini ingin diusahakan oleh manusia. Manusia melewatkan banyak kesenangan demi meraih kesenangan yang lebih besar lagi. Dengan kata lain, manusia terkadang rela untuk menderita demi memperoleh kesenangan yang apabila dicapai harganya jauh lebih tinggi daripada nilai yang sudah dikeluarkannya untuk menderita. Di sinilah muncul adanya prioritas dalam kesenangan.

Pemikiran Epicurus tersebut banyak sekali ditemukan dalam kehidupan manusia. Seorang ibu yang sedang hamil harus menunda memakan makanan kesukaannya hanya karena makanan tersebut bisa membahayakan janinnya. Ia menunda kesenangan itu demi kesenangan yang lebih besar ketika kelak melihat anaknya lahir sehat. Seorang ayah harus menunda atau menghentikan kebiasaannya merokok hanya karena ingin anaknya yang terkena asma bisa sembuh. Seorang anak harus menunda membeli es mambo hanya karena ingin menabung untuk membeli sepeda. Dengan demikian, dalam pemikiran Epicurus, kesenangan tubuh dan kesenangan jiwa adalah dua hal yang harus dipenuhi untuk memperoleh kebahagiaan.

“Apabila kita memandang keinginan-keinginan kita dengan tenang, kita belajar untuk mempergunakan setiap keinginan dan setiap dorongan untuk menghindar demi kesehatan badan dan pemeliharaan ketenangan jiwa, karena dua hal itu merupakan intisari hidup yang bahagia” (Epicurus dalam Magnis-Suseno, 1997: 67).

Mengapa Epicurus menganggap penting kesenangan badaniah di samping kesenangan jiwa? Seperti yang diketahui bahwa riwayat hidup Epicurus begitu akrab dengan penyakit. Sepanjang hidupnya, ia selalu memiliki masalah dengan kesehatannya. Hal ini menyebabkan ia berpikir bahwa kesehatan badan sangat penting agar orang bisa berbahagia. Makanan dan minuman yang enak dapat membangkitkan kesenangan badan yang diperlukan bagi sesorang jika ia ingin berbahagia. Tetapi jika kehidupannya memaksa ia untuk tidak bisa menikmati itu semua maka ia bisa hidup dengan menahan diri atas kesenangan-kesenangan indrawi.

“Tubuh merasakan kenikmatan ketika aku hidup hanya dengan roti dan air, dan kunistakan pelbagai kesenangan serba mewah, bukan karena kesenangnya itu sendiri, namun karena ketidaknyamanan yang diakibatkannya” (Epicurus dalam Russell, 2002: 330).

Tanpa kesenangan badan, seseorang bisa mengalami kesenangan yang bersumber dari ketenangan jiwa. Ataraxia atau ketenangan jiwa jauh lebih utama daripada kesenangan badan.

Banyak kritik keras terhadap ajaran Epicurus yang dianggap hanya mementingkan kesenangan badaniah dan menyamakan ajaran Epicurus dengan gaya hidup yang hedonis. Untuk menyanggah hal tersebut, dalam suratnya kepada Menoeceus, Epicurus menulis demikian:

“Maka kalau kami mengatakan bahwa tujuan hidup kita adalah kesenangan, yang kami maksud bukanlah kesenangan kaum gembul yang asal menikmati saja. Itu anggapan mereka yang tidak tahu atau yang tidak mengerti ajaran kami atau dengan sengaja memutarbalikkannya. Bagi kami kesenangan berarti tidak merasa sakit dalam tubuh dan tidak resah dalam jiwa, karena hidup penuh kesenangan tidak diperoleh dengan pesta minum dan makan terus-menerus, tidak dengan menikmati remaja laki-laki dan wanita cantik, juga tidak dengan menikmati ikan yang enak dan makanan mewah apa saja, melainkan hanyalah dengan pemikiran terang yang mencari akar segala keinginan dan dorongan, menghindar dan mengusir gagasan-gagasan aneh yang, bagaikan angin prahara, mengoyangkan jiwa” (Epicurus dalam Magnis-Suseno, 1997: 69).

Teks di atas menunjukkan bahwa hedonisme Epicurus tidak sama seperti hedonisme yang hanya mereduksi kesenangan hanya di seputar kesenangan badaniah semata. Bagi Epicurus, meskipun kesenangan badan merupakan hal yang alamiah bagi manusia, namun manusia bukan budak atas hasratnya sendiri, ia memiliki kemampuan dan kebebasan untuk menahan dan menunda kesenangan badan yang tidak berguna, yang justru menimbulkan ketidaknyamanan. Apa yang membuat manusia memiliki kebebasan dan kemampuan untuk menahan kesenangan-kesenangan yang tidak berguna? Epicurus menyatakan bahwa karena manusia memiliki akal budi.

“Pada permulaan segala-galanya ada akal budi, milik kita yang paling bernilai. Dari akal budi keutamaan-keutamaan lain semua dapat disimpulkan,… akal budi mengajar kami bahwa tidak mungkin hidup dengan senang, kalau tidak hidup secara rasional, bersusila dan adil. Namun sebaliknya, juga mustahil hidup dengan rasional, bersusila dan adil, tetapi tidak merasa senang, karena keutamaan-keutamaan menyatu erat dengan hidup bersenang, dan yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang satunya.” (Epicurus dalam Magnis-Suseno, 1997: 69).

Dengan demikian, akal budi adalah milik manusia yang paling khas. Akal budi adalah jembatan atau penengah antara rasio manusia yang berdasarkan pada realitas dan kesenangan manusia sebagai kondisi alamiah manusia. Keutamaan atau kebijaksanaan pada manusia, adalah mereka yang bisa menggunakan akal budi mereka dengan baik, mereka yang tidak hanya sekedar mengejar kesenanga badaniah, tetapi juga mengutamakan ketenangan jiwa (ataraxia).

2. Tuhan tidak Berurusan dengan Manusia

Obat mujarab yang berikutnya, yang dalam pemikiran Epicurus merupakan obat yang pertama adalah dengan meyakini bahwa bahwa Tuhan atau para dewa tidak berurusan dengan manusia. Dalam konteks pemikiran Helenistik saat itu, Epicurus menyerang kaum Stoa yang menempatkan penyelenggaraan Ilahi sebagai bagian pokok dari alam yang berpengaruh dalam menentukan nasib manusia. Kaum Stoa beranggapan bahwa keutamaan hidup (ataraxia) terkandung dalam kehendak yang seirama dengan Alam. Dalam sebuah kesempatan, Cicero, salah satu juru bicara Epikureanisme, pernah mengkritik kaum Stoa, “You [Stoics]’, fail to see how nature’s creative work can occur without any mind (sine aliqua mente), and so you run to god like the tragic poets, needing a god to unravel the end of your plot” (Long, 2006: 158).

Setidaknya ada dua alasan Epicurus mengatakan bahwa para dewa tidak berurusan dengan manusia. Pertama, dari sudut para dewa itu sendiri, mereka tidak tertarik dengan segala tetek bengek urusan manusia. Dengan kata lain, dewa-dewa tidak akan merepotkan diri mereka sendiri mencampuri urusan-urusan hidup manusia (Russell, 2002: 337). Kedua, kebebasan manusia hanya bisa terjadi jika para dewa tidak berurusan dengan manusia. Entah alasan mana yang mendahului mana, namun yang jelas Epicurus adalah seorang materialis (atomis) namun bukan seorang determinis. Jika para dewa tidak berurusan dengan manusia maka segala aspek takhayul, praktek dukun-dukunan, ramal-meramal, dan berdoa tidak bisa dipercaya.

Dengan mengusir tuhan/dewa dari firdaus, Epicurus memberikan lowongan yang besar bagi kebebasan manusia. Manusia bukanlah aktor dalam panggung sandiwara kehidupan yang sudah ditentukan perannya masing-masing sejak awal, dan hanya tinggal melakoni apa yang sudah ditentukan baginya. Manusia bisa menentukan keputusan bagi nasibnya sendiri, jika sesuatu yang buruk menimpa manusia, hal itu bukanlah takdir ilahi, “orang banyak berpendapat bahwa kalau seseorang mengalami sesuatu yang buruk atau ia mengalami kemajuan dalam hal-hal baik, bahwa itu keputusan dewa. Orang banyak menganggap asing apa yang tidak sama dengan (pandangannya) sendiri, dan oleh karena itu hanya mau menerima dewa yang sama dengan pikiran orang banyak sendiri” (Epicurus dalam Magnis-Suseno, 2002: 337).

Epicurus hanya meniadakan Tuhan dari penyelenggaraan alam semesta, tetapi ia bukanlah seorang ateis seperti Sartre yang mengingkari keberadaan Tuhan demi kebebasan manusia. Ia tetap menganggap bahwa para dewa itu ada dalam keabadiaan mereka, dan apa yang selama ini dipikirkan manusia tentang para dewa adalah tidak sama dengan sosok para dewa itu sendiri. Dengan kata lain, para dewa adalah hasil pikiran orang banyak. Hal ini dalam beberapa hal mirip dengan apa yang dikemudian hari dikemukakan oleh Feuerbach. Epicurus menganggap bahwa orang ateis bukanlah orang yang menyingkirkan pikiran-pikiran orang banyak tentang dewa, melainkan yang menyesuaikan para dewa dengan anggapan orang banyak.

Obat mujarab Epicurus yang berusaha menanamkan pemikiran bahwa Tuhan tidak berurusan dengan manusia dalam beberapa hal bisa diterima, tetapi dalam sudut yang lain sungguh sulit diterima jika alasannya ingin menghilangkan kecemasan manusia. Sebab, bukankah bagi mereka yang beragama atau percaya kepada dewa, justru menjadikan kepercayaan akan penyelenggaraan Ilahi sebagai penghilang rasa kecemasan? Epicurus dapat dengan mudah menjawab itu, sebab bukankah kepatuhan kepada dewa tidak lain dari kepatuhan yang timbul dari ketakutan? Kiranya, kutipan puisi Lucretius, seorang pewaris mazhab Epikureanisme terbesar, dapat memberikan gambaran akhir tentang obat mujarab ini:

Saat di muka bumi terhampar tiada daya hidup manusia
Tampak terinjak-injak dan remuk ternista
Di bawah kejamnya Agama, yang kala itu
Dari wilayah langit di atas sana
Menyingkapkan wajahnya, turun ke tengah insan-insan fana
Dengan wujudnya yang mengerikan, adalah orang Yunani yang mula-mula
Berani mengangkat matanya yang fana menatapnya;
Dialah yang pertama tegak dan menantangnya.
Tiada dongeng tentang para dewa, kilat-guntur,
Atau laknat langit penuh ancaman dapat menggentarkan dia,
Bahkan semua itu kian membangkitkan jiwanya
Yang gagah perwira, hingga ingin ia menjadi yang pertama
Mendobrak pintu-pintu Hakikat yang tebal terkancing rapat
Sehingga tenaga batinnya yang menyala-nyala
Pun meraja, dan terus ia maju menempuh, mengarungi jauh
Menembus kobar kubu-kubu dunia
Bertualang ke segenap penjuru batin dan jiwa
Ke sepanjang semesta tiada tara; dan sesudahnya
Sebagai pemenang ia kembali menjumpai kita,
Membawa pengetahuan tentang yang bisa dan tak bisa
Lahir ke dalam ada, mengajar kita dengan eloknya
Asas tentang bagaimana setiap hal mendapatkan dayanya
Yang terbatas, serta pagar pembatasnya yang kuat tertancap.
Maka Agama pun kini dinistakan
Di bawah kaki manusia, dan ganti diinjak-injaklah dia:
Setinggi langit kemenangannya memuliakan kita
(Lucretius dalam Russell, 2003: 339-340).

3. Kematian bukan untuk Ditakuti

Gagasan Epicurus tentang kematian tidak bisa dilepaskan dari gagasannya tentang kehidupan, seperti yang telah dijelaskan di atas. Bagi seorang Epikureanisme, berpikir tentang kematian secara benar adalah bagian integral dari kehidupan yang baik. Konsepsi tentang nilai-nilai di dalam kehidupan dan konsepsi tentang kematian tidak dapat dipisahkan begitu saja. Dengan demikian, asumsi yang dibangun adalah jika kematian dapat dipahami dengan baik, maka kehidupan pun dapat dipahami dengan baik, demikian pula sebaliknya (Warren, 2004: 7).

Secara gamblang Epicurus mengatakan bahwa gagasan tentang kematian bagi kita tidak mempunyai arti, karena segala apa yang baik dan apa yang buruk hanya berdasarkan perasaan, akan tetapi kematian adalah (justru) peniadaan perasaan. Oleh karena itu, apabila kita memahami bahwa kematian tidak berarti apa-apa, hidup kita yang fana baru menjadi menyenangkan (Magnis-Suseno, 1997: 66). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kematian, keburukan yang paling mengerikan, bagi kita tidak berarti apa-apa: selama kita ada, kematian tidak ada, dan pada saat kematian ada, kita tidak ada lagi. Oleh karena itu, kematian tidak menyangkut orang hidup dan tidak juga orang mati, karena di mana yang satu (yang hidup) ada, kematian tidak (belum) ada, sedangkan yang satunya (mereka yang telah mati) sama sekali tidak ada lagi (Magnis-Suseno, 1997: 66).

Dengan demikian, bagi Epicurus, takut akan kematian adalah sesuatu yang ‘irrasional’ dalam arti kata ‘tersesat’ dan ;keliru’. Namun, di sisi lain, rasa takut akan kematian pun sesungguhnya adalah sesuatu yang rasional sebab selalu dilatarbelakangi oleh alasan dan opini yang memadai. Untuk memahami secara jelas tentang obat mujarab ini, sebaiknya terlebih dahulu memahami konsep metafisika Epicurus.

Metafisika Epicurus bersumber dan berdasar dari atomisme Demokritos. Dengan demikian, ia adalah seorang materialis. Epicurus seperti halnya Demokritos percaya bahwa dunia ini terdiri dari atom-atom dan ruang hampa. Tetapi tidak seperti Demokritos yang percaya bahwa atom-atom tersebut digerakan sepenuhnya oleh hukum alam, Epicurus berpendapat bahwa atom-atom tersebut digerakan oleh kehendak bebas. Tidak selamanya atom-atom itu jatuh mengikuti garis lurus dari atas ke bawah, ada kalanya gerak atom jatuh melenceng miring dari garis lurus dan bertabrakan secara kebetulan dengan atom-atom yang lain.

Karena segala sesuatu tersusun dari atom-atom, maka jiwa pun terbentuk dari atom-atom yang bersifat material. Atom-atom jiwa menyebar ke seluruh tubuh. Sensasi disebabkan oleh film-film halus yang disebarkan oleh tubuh dan terus bergerak hingga mereka bersinggungan dengan atom-atom jiwa. Film-film itu bisa tetap ada meskipun tubuh dari mana mereka berasal telah hancur; inilah yang menciptakan mimpi. Sesudah mati, jiwa pun musnah, sedangkan atom-atomnya, yang tentu saja tetap hidup, tidak dapat lagi merasakan sensasi, sebab atom-atom itu tak lagi berhubungan dengan tubuh (Russell, 2002: 337).

Jika metafisika atomis Epicurus dipahami dengan baik maka bisa dipahami mengapa Epicurus mengatakan bahwa setelah mati, seorang manusia tidak memiliki sensasi dan perasaan. Seperti halnya pada obat mujarab sebelumnya, kiranya sebuah puisi dari Lucretius dapat memberikan penjelasan puitis mengenai pemikiran Epicurus tentang kematian yang tidak perlu ditakuti:

What has this bugbear, death, to frighten man,
If souls can die, as well as bodies can?
For, as before our birth we felt no pain
When Punic arms infested land and main,
So, when our mortal frame shall be disjoined,
The lifeless lump uncoupled from the mind,
From sense of grief and pain we shall be free
We shall not feel, because we shall not be.
Though earth in seas, and seas in heaven were lost
We should not move, we only should be tossed.
Nay, e’en suppose when we have suffered fate,
The soul could feel in her divided state,
What’s that to us? for we are only we
While souls and bodies in one frame agree.
Nay, though our atoms should revolve by chance,
And matter leap into the former dance;
Though time our life and motion could restore,
And make our bodies what they were before;
What gain to us would all this bustle bring?
The new-made man would be another thing (Lucretius dalam Kenny, 2006: 93).

III. EVALUASI PEMIKIRAN EPICURUS MELALUI FILSAFAT WHITEHEAD

Pada bagian ini pemikiran Epicurus yang telah dibahas pada bagian sebelumnya akan dievaluasi dengan konsep jatidiri manusia berdasar pada filsafat organisme Alfred North Whitehead. Hal ini menjadi menarik, karena kedua filsuf ini berasal dari jaman dan waktu yang jauh berbeda. Jika benar diktum yang mengatakan bahwa sebuah pemikiran filsafat lahir atas reaksi jamannya, dan setiap jaman memiliki watak dan persoalan yang berbeda-beda, maka evaluasi ini menjadi tidak bermakna, karena ada perbedaan paradigma yang besar antara filsafat Epicurus dan Whitehead. Tetapi, bukankah persoalan pencarian jati diri manusia selalu memiliki wajah yang sama dari waktu ke waktu meskipun realitas yang dihadapi manusia bisa saja berbeda? Memang, momen waktu adalah unik dan tidak dapat diulang, tetapi bukankah kerap di dalam sejarah sosial umat manusia dijumpai persamaan watak antara jaman yang satu dengan jaman yang lain? Kepercayaan positif akan sifat universalia persoalan hakikat manusia inilah yang menjadi motivasi dasar evaluasi ini.

A. Perihal Natur Manusia dan Akal Budinya

Epicurus bukanlah Sidharta Gautama yang berasal dari keluarga bangsawan yang telah terlebih dahulu mengecap manisnya kemakmuran lalu memilih untuk hidup asketis. Epicurus dan komunitas Taman yang ia dirikan memang sudah sejak awal mengalami kesulitan keuangan. Sehingga, ketika Epicurus mengatakan bahwa keutamaan hidup adalah kesenangan badan seadanya dan mencapai ketenangan jiwa (ataraxia), hal itu cenderung disebabkan oleh strategi untuk mengakali keadaan yang tidak memungkinkan untuk hidup mewah. Demikian pula, ketika ia menyatakan bahwa kesenangan badan sebagai salah satu intisari hidup bahagia, ia tidak sedang hidup dengan tubuh yang prima, tetapi sebaliknya sepanjang hidupnya ia selalu bermasalah dengan kesehatan. Dengan demikian, filsafat hedonis Epicurus adalah hiburan yang cocok untuk mereka yang ingin bahagia meski kekurangan dan menderita. Epicurus menyediakan kemungkinan bahwa manusia bisa berbahagia di dalam penderitaan.

Dalam skema pemikiran Epicurus, manusia adalah kumpulan atom-atom yang saling bersinggungan, berkelindan, dan bertabrakan, tidak hanya secara fisiologis, tetapi jiwa manusia pun adalah sekumpulan atom-atom yang mendiami tubuh. Perasaan-perasaan manusia tidak lebih dari hasil dari hubungan-hubungan halus antara atom tubuh dan jiwa. Atom-atom tersebut tidak bergerak mengikuti hukum tertentu tetapi bergerak mengikuti kehendak bebas.

Jika natur manusia hanya dijelaskan sebagai kumpulan atom-atom semata, maka manusia yang dimaksud di sini bisa dikatakan sama dengan benda mati, hewan, dan tumbuhan. Dalam jatidiri manusia Whitehead, manusia tipe ini secara fisiologis berada pada taraf anorganik, di mana kutub fisik mengisi semua tempat pada mimbar kehidupan lantas menihilkan kutub mental.

Dalam pemikiran Epicurus, manusia sebagai kumpulan atom memang tidak berbeda dengan benda manapun, pada taraf yang lebih tinggi, dalam diri manusia juga terdapat dua unsur utama, yakni kesenangan tubuh dan ketenangan jiwa (ataraxia). Secara sederhana, dengan mengabaikan kesulitan-kesulitan yang nanti akan muncul, kesenangan tubuh berhubungan erat dengan kutub fisik sedangkan kutub ataraxia berhubungan dengan kutub mental. Interaksi dan bentuk interaksi antara kesenangan badan dan ketenangan jiwa menentukan taraf kehidupan yang dikembangkan oleh manusia, yang kelak membedakannya dari tumbuhan dan hewan.

Untuk sekedar me-refresh sejenak, seperti yang telah diketahui bahwa dalam konstelasi pemikiran Whitehead, di dalam kehidupan bekerja dua kutub yang memiliki fungsi yang berbeda, yakni kutub fisik dan kutub mental. Berdasarkan interaksi dan intensitas kehadiran kedua kutub itulah, muncul taraf-taraf dalam dunia: taraf anorganik, vegetatif, sensitif, rasional.

Pada taraf vegetatif yang dominan pada tumbuhan, kutub fisik memiliki kuasa yang lebih dominan terhadap kutub mental, meskipun dalam beberapa hal yang kecil mulai ada interaksi dan koordinasi. Manusia yang berada pada taraf vegetatif tidak ada bedanya dengan tumbuhan. Dalam istilah Epicurus, mereka yang hanya mementingkan kesenangan badan sampai taraf ekstrem seperti halnya tumbuhan yang menyerap air sebanyak mungkin hingga membusuk.

Dalam pemikiran Epicurus hadirnya akal budi yang oleh Epicurus disebut sebagai “permulaan segala-galanya..milik kita yang paling bernilai”, menjadi ciri khas manusia. Pada taraf sensitif yang sebagian besar dimiliki oleh hewan, kutub mental telah memiliki peranan yang lebih besar, namun tetap saja yang diutamakan oleh hewan hanya sekedar untuk bertahan hidup. Walaupun ada kebaruan, hal itu hanya menyangkut insting yang telah terlatih oleh kebiasaan. Dengan demikian, kita tidak pernah menjumpai burung bangau membuat tambak ikan atau komunitas singa membuat peternakan rusa.

Tentang rasio dan akal budi dan hubungannya dengan dorongan hidup, Whitehead (2001: 43) menjelaskan bahwa penanganan aktif atas lingkungan terletak pada adanya tiga dorongan: (i) dorongan untuk hidup, (ii) untuk hidup baik, (iii) untuk hidup lebih baik. Pada kenyataannya, kiat hidup ialah pertama-tama untuk mempertahankan hidup, kedua untuk hidup dengan cara yang memuaskan, dan ketiga untuk meraih peningkatan dalam kepuasan itu. Lebih lanjut, Whitehead menyatakan bahwa peranan rasio adalah untuk memajukan kiat hidup. Sedangkan fungsi primer rasio ialah mengarahkan penanganan atas lingkungan. Di dalam rasio atau budi itu sendiri terdapat dua spek yakni budi praktis dan budi teoretis. Dalam buku Whitehead, Fungsi Rasio, disebutkan sebagai rasio praktis dan rasio spekulatif.

Akal budi yang dimaksud oleh Epicurus cocok dengan apa yang dimaksud oleh Whitehead dengan budi teoretis atau rasio spekulatif. Sebab, akal budi pada manusia menggerakan manusia dari hidup baik menjadi hidup labih baik, dari kesenangan badan (yang adalah baik menurut Epicurus) menuju ketenangan jiwa (hidup lebih baik).

Meskipun dalam khasanah pemikiran Epicurus jalinan atom-atom disebut sebagai unsur pembentuk tubuh dan jiwa, namun ini tidak berarti bahwa jiwa adalah partikel-partikel kosong yang bergerak tanpa ada kesadaran intelektual. Kesadaran intelektual pada jiwa berbeda dengan cara kesadaran akal budi ketika mengatur dan menghubungkan semua komponen emotif dan hasrat dalam diri manusia. Jiwa yang atomis lebih dekat pada penjelasan sifat dan perilaku partikel dalam fisika mekanika kuantum. Jiwa adalah partikel cerdas yang tidak bisa ditebak atau diukur dengan kepastian yang akurat. Tetapi, jiwa membutuhkan wadah, yakni tubuh, dan yang akan terburai ketika tubuh musnah.

Lalu di mana posisi akal budi? Di dalam jatidiri manusia Whitehead, budi, meskipun menduduki posisi tertinggi dan memegang dominasi atas bagian-bagian lain, hanyalah bagian dari jiwa. Jiwa manusia adalah keseluruhan kompleks kegiatan mental dari taraf yang paling rendah sampai yang paling tinggi (Hardono Hadi, 1996: 91-92). Namun, Epicurus menyebutkan akal budi sebagai permulaan segala-galanya. Permulaan tidak selalu menunjuk pada alur waktu keberadaan. Yang pertama atau yang mula-mula tidak selalu hadir dalam setiap momen dari awal hingga akhir. Melainkan, ia mewujud dalam suatu masa, ketika kondisi memungkinkan ia hadir.

Jika Adam disebut sebagai manusia pertama, maka ‘manusia pertama’ seperti apa yang dimaksud di sini? Apakah manusia yang hadir pertama kali di muka bumi? Atau, manusia pertama yang memiliki kesadaran sebagai manusia? Ini adalah dua hal yang berbeda. Demikian pula, ketika Epicurus mengatakan akal budi sebagai permulaan, tidak berarti bahwa akal budi merupakan objek abadi yang mengawali segalanya. Epicurus justru mengatakan kesenangan/kenikmatan sebagai awal dan akhir segala sesuatu.

Dengan demikian, tidak seperti Whitehead, akal budi bukan merupakan bagian dari jiwa. Akal budi adalah permulaan kesadaran intelektual dalam diri manusia yang berfungsi sebagai pengatur dan penyaring kesenangan. Akal budi bukan bagian dari jiwa tetapi terlahir dari interaksi yang begitu halus dan seimbang antara kesenangan badan dan ketenangan jiwa. Dengan demikian, kata Epicurus, dari akal budi keutamaan-keutamaan lain semua dapat disimpulkan. Akal budi mengajar kami bahwa tidak mungkin hidup dengan senang, kalau tidak hidup secara rasional, bersusila, dan adil. Namun sebaliknya, juga mustahil hidup dengan rasional, bersusila, dan adil, tetapi tidak merasa senang, karena keutamaan-keutamaan menyatu erat dengan hidup bersenang, dan yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang satunya.

B. Perihal Kebebasan

Obat mujarab Epicurus yang kedua tentang keberadaan Tuhan dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia membuka peluang yang besar bagi kebebasan manusia. Tuhan adalah objek abadi yang tidak dipahami oleh manusia. Ia tinggal dan aktif dalam keabadiannya, dan tetap terus abadi selamanya. Dengan demikian, Tuhan bukan sebab kemungkinan determinasi khusus kenyataan, sebab Tuhan tidak berurusan dengan kenyataan hidup manusia. Tuhan adalah entitas aktual abadi yang tidak memiliki relevansi bagi entitas-entitas aktual di dunia nyata. Epicurus menyatakan bahwa Tuhan atau Dewa merupakan pengada yang abadi dan bahagia…dan jangan hubungkan sesuatu dengan Dewa yang bertentangan dengan keabadiannya atau tidak dapat disesuaikan dengan kebahagiaannya, melainkan hubungkan dengannya hanyalah apa yang sesuai dengan kebahagiaannya yang abadi (Epicurus dalam Magnis-Suseno, 1997: 65-66).

Jika Tuhan bukan penentu nasib manusia, dengan demikian, atom-atom dalam tubuh dan jiwa manusia, beserta akal budi manusia memiliki kebebasan, dan tidak digerakan oleh hukum-hukum yang menentukan bahwa gerak atom selalu jatuh lurus ke bawah seperti dalam konsep atom Demokritos.

Dalam konsep jatidiri manusia Whitehead, kebebasan mempunyai arti yang negatif dan positif. Kebebasan negatif berarti tidak adanya rintangan, campur tangan, paksaan, atau kontrol ketat; sedangkan kebebasan positif menunjuk kepada proses pilihan dan tindakan atas dasar inisiatif pribadi, dan lebih konkret menunjuk kepada jenis-jenis umum dari minat manusia atau bentuk-bentuk kegiatan untuk mengekspresikan diri dan melaksanakan kebebasan. Kebebasan hanya terdapat di dalam situasi di mana dimungkinkan terjadinya pilihan. Selanjutnya kemungkinan pilihan tidak hanya menunjuk pada absennya paksaan langsung tetapi juga tersedianya macam-macam alternatif yang bisa diketahui (Hardono Hadi, 1996: 157-158).

Kebebasan manusia berkaitan dengan kehendak manusia dalam menentukan pilihan. Menentukan pilihan untuk bahagia dalam ketenangan jiwa dilakukan oleh akal budi. Inilah citra diri seorang Epikureanisme, yakni ketika mereka bisa menahan diri dari kesenangan-kesenangan badan, bukan karena kesenangan badan adalah kesenangan yang datang dari luar, tetapi justru karena kesenangan adalah kondisi yang awal dan alami bagi manusia. Dengan menunda kesenangan-kesenangan tertentu, manusia sesungguhnya sedang bergelut dengan dirinya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa manusia selalu berjuang mencapai kepenuhan dirinya, tidak melawan siapa pun, tetapi melawan dirinya sendiri.

Masih ada hal yang tertinggal dari pembahasan filsafat manusia Epicurus, yakni pendapatnya tentang persahabatan. Bagi Epicurus, persahabatan adalah keniklmatan sosial yang paling aman. Dengan bersahabat, manusia tidak hidup dalam kesenangan pribadi dan sekaligus membuat manusia sadar bahwa ia adalah produk dari lingkungannya. Persahabatan adalah salah satu bentuk pemenuhan kebutuhan manusia. Bagi Epicurus, persahabatan tak dapat dipisahkan dari kenikmatan, “semua persahabatan pada dirinya sendiri memang dikehendaki, kendati persahabatan itu muncul dari kebutuhan akan bantuan.” Hal ini menjawab pertanyaan tentang apakah ada persahabatan yang sejati.

Kalau persahabatan tidak dapat dipisahkan dari kenikmatan, padahal tanpa kenikmatan tidak akan ada pemenuhan diri atau keutamaan, maka persahabatan adalah bagian dari pemenuhan diri yang alami bagi manusia. Dalam persahabatanlah, manusia menyadari bahwa ia adalah superjek seperti yang dimaksud oleh Whitehead. Persahabatan ini juga yang mampu membuat manusia bebas membuat pilihan-pilihan berdasarkan hubungan timbal balik dengan sesama manusia.

Pada akhirnya, kebebasan manusia tidak lantas menjadikan manusia bisa mengendalikan penuh nasib di kedua tangannya. Epicurus mengatakan bahwa “kita tidak pernah boleh lupa bahwa masa depan memang jelas tidak terletak di tangan kita, tetapi juga jelas tidak seluruhnya di luar kekuasaan kita; maka kita tidak akan mengandaikan bahwa apa yang kita harapkan akan terjadi, namun kita juga tidak putus asa apabila apa yang kita harapkan sama sekali tidak terjadi” (Epicurus dalam Magnis-suseno, 1997: 67).

C. Perihal Takut akan Kematian

Takut akan kematian adalah gejala yang positif bagi manusia. “It may be said that fear of death exercise a quite positive function, not only because it protects us against death, but also because it stimulates us and increases our joy in living” (Lepp, 1969: 31-32). Dengan demikian, takut (fear) akan kematian harus dibedakan dengan kecemasan (anxiety) akan kematian. Ketika Epicurus bersabda bahwa kematian tidak perlu ditakuti, ia sedang memberikan alasan agar manusia mempersiapkan kehidupan dengan baik. Mengapa kematian tidak perlu ditakuti, secara sederhana dapat dijabarkan seperti ini:

1.    Kematian tidak berarti untuk kita
2.    Kematian adalah terputusnya jiwa
3.    Apa yang telah hancur tak bisa merasa
4.    Kematian adalah hilangnya persepsi
5.    Apa yang tak bisa dirasakan tidak berarti untuk kita
6.    Kematian tidak berarti untuk kita

Muncul beberapa kesulitan, yakni bukankah menyiapkan kehidupan dengan baik merupakan hal yang sia-sia jika setelah kematian jiwa punah begiu saja? Epicurus mungkin akan menjawab bahwa mempersiapkan hidup adalah demi hidup itu sendiri. Ini adalah jawaban yang baik tetapi tidak mengurangi rasa takut akan kematian. Imortalitas jiwa menggoda manusia untuk berharap ada sesuatu yang indah di seberang sana. Sesuatu yang setidaknya merupakan kontinuitas akan kehidupan yang fana, meskipun buruk dan kejam seperti neraka, namun memberikan jenis kelegaan tertentu bahwa hidup masih terus berlanjut. Tetapi bukankah jika kematian adalah lenyapnya jiwa dan tubuh maka hal itu justru menjadi sumber ketakutan yang baru? Dengan demikian, merupakan sesuatu yang terdengar paradoksal. Pada satu sisi, masyarakat berkontribusi untuk menolak kematian, tetapi pada sisi lain, agama justru kehilangan banyak pengikut yang percaya akan kehidupan setelah kematian (Kubler-Ross, 2009: 12).

Percaya akan kehidupan setelah kematian adalah penyumbang terbesar rasa takut akan kematian. Hal inilah yang ingin disembuhkan oleh Epicurus. Dengan lenyapnya jiwa setelah kematian, maka pertanyaan yang relevan tidak lagi berbunyi “apakah ada kehidupan setelah kematian?”, melainkan “apakah ada kematian setelah kehidupan?”

Tuhan tidak campur tangan dengan kehidupan manusia, sehingga tidak akan ada tempat seperti Hades atau Neraka. Tidak ada pengadilan terakhir atau hari kiamat, sebab hari kiamat adalah hari ketika “aku” mati. Ketika aku mati maka duniaku juga berakhir. Ketika aku mati maka seluruh kenangan, cita-cita dan harapanku hancur berantakan. Kematian tidak hanya akhir dari jiwa dan tubuh tetapi juga akhir dari semesta pengetahuan dan pemahamanku akan dunia. Dengan demikian, kematian tidak hanya berdimensi metafisis tetapi juga epistemologis.

Kehidupanku ini hanya untuk sekali saja, dan kematianku juga hanya datang sekali. Janji akan adanya reinkarnasi tidak menjamin adanya ketenangan jiwa. Meskipun nanti aku dilahirkan kembali, tetap saja aku saat itu bukan lagi aku yang sekarang. Aku dalam kelahiran berikutnya tidak mendiami wajah yang sama, lingkungan yang sama, perangai yang sama, nama yang sama, aku sama sekali berbeda dengan aku yang dahulu, bahkan aku sama sekali lupa akan kehidupanku yang dahulu. Kematian jelas menjadi akhir dari aku yang sekarang.

Keberatan umum terhadap konsep jiwa yang materialis mengatakan bahwa jiwa merupakan realitas spiritual yang dinamis, tanpa keluasan dan kuantitas; jadi tidak terdiri dari bagian-bagian dan karenanya tidak bisa kena pembusukan (dekomposisi). Dia lepas dari semua bentuk penceraian; dia tidak dapat menjadi korban dari korupsi, degradasi, kematian, karena jiwa itu bersifat “sederhana”, tanpa bagian-bagian yang bisa diceraikan satu dari yang lain, seperti halnya dengan semua benda material. Karena spiritualitasnya, jiwa lepas dari hukum-hukum materi (Leahy, 1998: 77).

Epicurus, adalah seorang materialis, sehingga tidak heran ia berpendapat bahwa jiwa akan punah ketika kematian datang. Tetapi, doktrin materialis Epicurus tidak lantas menjadi alasan utama di balik lahirnya obat mujarab untuk tidak mencemaskan kematian. Meskipun ada konsekuensi logis antara sifat jiwa yang material dan ketakutan akan kematian, tidak berarti ketakutan akan kematian dapat didasarkan semata pada hal ini. Sebab yang paling utama adalah kebahagiaan dalam hidup: kesenangan badan dan ketenangan jiwa.

Kebahagiaan yang berproses menuju keutamaan dan kepenuhan diri bukan kebahagiaan yang dapat diganggu oleh ketakutan akan kematian. Jika seluruh daya hidup dipusatkan pada proses kehidupan, maka raison d’etre manusia adalah ketenangan jiwa. Hidup adalah tamasya di atas  kereta api sekali jalan, bersantai dan bermanja ria dengan hembusan angin yang menerpa pelipis. Tidak penting mengetahui ke mana kereta api itu membawa kita pergi, yang terpenting adalah bersantai dengan bersungguh-sungguh.

Dengan demikian, jawaban Proust, yakni untuk bersantai, ialah pilihan yang tepat bagi masa depan yang sudah ditentukan dengan kematian. Sebab, imortalitas atau penghakiman terakhir bukanlah hal yang harus ditakuti karena melampaui akal pikiran manusia. Perbuatan baik di detik-detik terakhir kehidupan bukan saja menunjukkan kepercayaan terhadap kebangkitan jiwa setelah kematian, tetapi juga sekaligus menunjukkan kepanikan dan ketakutan terhadap kematian.

Dalam karya monumentalnya Remembrance of Things Past, Proust memperlihatkan bahwa masa depan terlahir dari masa lampau. Apa yang kita inginkan dan lakukan di masa lalu membentuk masa depan kita. Begitu pentingnya arti masa lalu, sehingga apa yang tertinggal di masa lalu tidak hanya sekedar kenangan yang usang dan tanpa makna, tetapi kenangan yang sangat personal, yang dipahami hanya oleh subjek itu sendiri, dan yang hadir dalam bentuk tanda-tanda. Kenangan-kenangan di masa yang lalu tidak lagi sekedar menjadi tanda sebagai representasi dari objek, makna, atau kebenaran, tidak pula dalam pengertian tanda sebagai kendaraan bagi memori, tetapi tanda sebagai entitas pembelajaran. Dengan demikian, kenangan adalah tanda dari proses belajar yang memengaruhi subjek. Oleh karena itu, bersantai adalah suatu keputusan yang tidak mengingkari masa lalu sebagai proses belajar, tetapi menerimanya sebagai yang tidak terelakkan lagi sebagai implikasi dari keputusan pribadi sang subjek yang tidak perlu dipertanggungjawabkan

IV. PENUTUP

Dapat disimpulkan bahwa kebijaksanaan dari pemikiran Epicurus berpusat pada kesenangan hedonis yang memiliki tiga manfaat. Pertama, bermanfaat bagi seorang individu untuk mengorganisir segala hasrat dengan kesenangan yang seperlunya dan ketenangan untuk menyeimbangkan penderitaan yang tidak dapat ditangguhkan. Kedua, melengkapi seorang individu dengan alasan-alasan untuk menyetujui kebebasan dalam menentukan pilihan dan untuk menjalin persahabatan. Ketiga, menyajikan oase pemikiran yang baru untuk meredakan ketakutan akan kematian dengan berpusat pada proses pemenuhan diri.

Sebagai penutup, ijinkanlah baris-baris kalimat dari Walter Kaufman berikut ini menjadi bahan renungan setelah berhiruk pikuk dengan pemikiran Epicurus dan jatidiri manusia Whitehead.

Biarkanlah orang-orang yang tidak tahu apa yang harus mereka lakukan dalam kehidupan ini, kecuali membuang-buang waktu mereka, berharap akan kehidupan yang abadi. Jika seseorang hidup dengan giat, tidur akan terasa menyenangkan. Jika seseorang mencintai dengan sungguh-sungguh, kematian akan terasa menggembirakan. …Kehidupan yang saya inginkan adalah kehidupan yang tidak bisa saya tanggung dalam keabadian. Itulah kehidupan yang penuh cinta, intensitas, penderitaan, dan penciptaan. …Sebagaimana orang berhak atas tidur yang nyenyak, dia juga berhak atas kematian. Mengapa saya harus berharap untuk bangun lagi? Untuk melakukan apa yang belum saya lakukan sewaktu saya masih hidup? Kita semua mempunyai jauh lebih banyak waktu daripada yang kita gunakan dengan baik. …Kehidupan disia-siakan dan dirusak oleh perasaan bahwa kematian masih jauh dan tidak relevan. …Tetapi berpikir dan berbicara mengenai kematian bukanlah sesuatu yang tidak sehat atau mengerikan. Mereka yang tidak menghargai kejujuran tidak mengetahui kegembiraannya. (Kaufman dalam Phillips, 2002: 230)***

* Penulis adalah alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada

DAFTAR PUSTAKA

Hardono Hadi P., 1996, Jatidiri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead. Kanisius: Yogyakarta

Jordan, William, 1992, Ancient Concepts of Philosophy. Routledge: London and New York

Kenny, Anthony, 2006, An Illustrated Brief History of Western Philosophy, Blackwell Publishing Ltd: USA, UK

Kubler-Ross, Elisabeth, 2009, On Death and Dying: What the dying have to teach doctors, nurses, clergy and their own families (40 th Anniversary Edition), Routledge: London and New York

Kundera, Milan, 2002, The Unbearable Lightness of Being (Entengnya Kehidupan: Sebuah Metafora tak Tertahankan), diterjemahkan oleh John de Santo, Kunci Ilmu: Yogyakarta

Leahy, Louis, 1998, Misteri Kematian: Suatu Pendekatan Filosofis, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta

Lepp, Ignace, 1969, Death and Its Mysteries, Burns & Oates Limited: London

Long A. A., 2006, From Epicurus to Epictetus: Studies in Hellenistic and Roman Philosophy, : Oxford University Press: Oxford

Magnis-Suseno, Franz, 1997, Tiga Belas Model Pendekatan Etika: Bunga Rampai Teks-teks dari Plato sampai dengan Nietzsche, Kanisius: Yogyakarta

Phillips, Christopher, 2002, Socrates Café: Citarasa Baru Filsafat, diterjemahkan oleh Kunjana Rahardi dan Ignatius Praptoharjo (dari judul asli Socrates Café: A Fresh Taste of Philosophy, 2000), Gramedia Pustaka Utama: Jakarta

Russell, Bertrand, 2002, Sejarah Filsafat Barat, diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko (dari judul asli History of Western Philosophy, George Allen and UNWIN LTD., London, 1946), Pustaka Pelajar: Yogyakarta

Warren, James, 2004, Facing Death: Epicurus and his Critics, Oxford University Press: Oxford

Whitehead, Alfred North, 2001, Fungsi Rasio, diterjemahkan oleh Alois A. Nugroho (dari Function of Reason, Beacon Press, Boston, 1971), Kanisius: Yogyakarta

2 responses to “EPICURUS: HIDUP TANPA PENDERITAAN, MATI TANPA KETAKUTAN

  1. ijin dikopi yah…
    buat materi angkringan di Makassar…
    thanks…

Leave a comment