JATUHNYA PROFESI DOKTER

Oleh: JIMMY JENIARTO

Profesi dokter hingga kini masih dipandang istimewa oleh sebagian besar masyarakat, setidaknya di Indonesia. Profesi dokter ditempatkan di posisi istimewa: mulia dan kaya. Di satu sisi, dokter dianggap sebagai penolong nyawa manusia, yakni menyelamatkan kehidupan, menyembuhkan sakit, dan menjaga kesehatan. Berdasar alasan kemanusiaan tersebut, dokter diposisikan mulia. Di sisi lain, dokter dipandang memiliki penghasilan ekonomi yang relatif besar, sehingga, secara ekonomi, dokter menempati posisi klas menengah-atas. Berdasar kepemilikan ekonomi, dokter dipandang kaya.

Pada jaman dahulu kala, di masyarakat primitif sederhana, pengobatan penyakit dan perawatan kesehatan tubuh manusia dilakukan secara sederhana dengan mengambil dan memanfaatkan secara langsung apa yang ada di alam. Misal, pemanfaatan daun, buah, atau akar pohon tertentu untuk pengobatan suatu penyakit. Ketika pemikiran tentang dunia roh muncul, penyakit dan kesehatan kemudian dipandang memiliki sumber penyebaban dunia supranatural. Kemampuan penyembuhan penyakit dan perawatan kesehatan dikaitkan dengan dunia supranatural dan sakral. Ritual-ritual supranatural dan sakral diikutkan di dalam praktek penyembuhan penyakit.

Tugas pengobatan orang sakit biasanya dilakukan oleh seorang individu yang juga merangkap tugas-tugas lainnya. Profesi “dokter” (istilah “dokter” belum muncul secara spesifik) dan profesi lainnya masih menyatu di dalam diri seseorang individu yang dianggap memiliki pengetahuan paling luas. Misal, seorang “dokter” kadang juga sekaligus merangkap sebagai kepala suku, pemimpin agama, ahli perbintangan, dan ahli pertanian. Konsep kesatuan atau kesamaan ini terjadi dikarenakan belum adanya pembagian kerja dan spesialisasi pengetahuan. Seorang “dokter” kala itu, selain memiliki pengetahuan luas di berbagai bidang lainnya, juga dianggap orang yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan dunia supranatural, sehingga orang tersebut dianggap sakral. Profesi “dokter” diatributkan dengan hal yang sakral.

Seiring terjadinya pembagian kerja di dalam perkembangan praktik hidup dan pengetahuan, maka kemudian terjadi pemisahan profesi di tengah masyarakat. Spesialisasi praktik dan pengetahuan tentang kesehatan mulai dilakukan. Profesi dokter dipisah terhadap profesi lain. Ketika cara pikir rasional-empiris berkembang, maka pandangan tentang keadaan tubuh, kesehatan, penyakit, dan pengobatan juga berkembang. Penyebaban sakit dan sehatnya tubuh manusia mulai dimengerti sebagai sesuatu yang natural. Penyembuhan atau pengobatan dilakukan dengan prinsip natural. Kerja dokter adalah kerja natural, bukan supranatural.

Alkmaion (500 SM) dan Hippokrates (460-377 SM) merupakan tokoh-tokoh Yunani yang memelopori pandangan natural terhadap penyakit dan kesehatan. Hipprokrates dan para pengikutnya menyusun karya tulis yang dikenal sebagai Hippocratic Corpus. Penyakit epilepsi yang semula dianggap sebagai penyakit sakral kemudian diterangkan secara natural oleh Hippokrates dan para pengikutnya. Pada jaman sebelum Hippokrates, berdasar salah satu catatan diagnosa medis di dalam tablet cunieform jaman Babilonia, dikenal sebagai Sakikku, disebutkan bahwa penyakit epilepsi disebabkan oleh gangguan roh-roh atau arwah orang yang telah meninggal.[1]

Perkembangan sains dan teknologi di dunia kesehatan pada era-era selanjutnya, terutama semenjak jaman Renaisans dan Pencerahan, semakin mengukuhkan pandangan natural terkait penyakit dan kesehatan. Di samping dokter meninggalkan pandangan supranatural dan sakral terkait penyakit, status sakralitas yang melekat pada dokter juga mulai ditanggalkan.

Pada jaman kapitalisme modern, dunia kesehatan telah memasuki era industrialisasi. Industri dunia kesehatan itu sendiri merupakan bagian dari industri kapitalisme secara umum. Pada prinsipnya, industri dunia kesehatan di era kapitalisme tunduk pada industri kapitalisme secara umum. Di era kapitalisme modern, telah semakin terjadi pembagian kerja di dalam dunia kesehatan. Dokter hanya merupakan satu bagian yang ada di dalam industri kesehatan secara keseluruhan.

Industrialisasi dunia kesehatan ini merupakan konsekuensi dari tujuan produksi di dalam kapitalisme, yakni komoditas. Masyarakat kapitalis adalah masyarakat komoditas. Oleh karena itu, dunia kesehatan dipandang sebagai komoditas. Kesehatan dijadikan komoditas yang menghasilkan keuntungan dan akumulasi kapital. Sebagai bagian dari dunia kesehatan, tenaga kerja atau jasa dokter adalah komoditas yang diperjual-belikan.

Salah satu mekanisme di dalam sistem kapitalisme adalah kerja-upahan. Proses proletarisasi di era feodalisme telah membentuk klas masyarakat yang tidak memiliki alat-alat produksi dan hanya menjual tenaga kerja. Pekerja-upahan adalah tenaga kerja yang karena tidak memiliki alat produksi maka kemudian menjual tenaga kerjanya pada kapitalis.  Kapitalisme memandang semua profesi di dalam kerangka kerja-upahan. Maka, pandangan terhadap profesi dokter juga berubah. Dokter kemudian menduduki posisi sebagai pekerja-upahan.

Keterlibatan para dokter di dalam hubungan baru model kapitalisme ini juga menghilangkan salah satu keistimewaan yang telah dinikmati pada jaman-jaman terdahulu, yakni anggapan mulia. Sebagaimana Marx dan Engels singgung: “Borjuasi telah melucuti anggapan mulia terhadap semua jabatan yang selama ini dihormati dan dipuja secara takzim. Borjuasi telah mengubah dokter, pengacara, pemuka agama, penyair [sastrawan-pen.], saintis, menjadi pekerja-upahan yang ia bayar”.[2]

Setelah kehilangan atribut supranatural dan sakral oleh karena dilucuti oleh perkembangan cara pandang sains, profesi dokter kemudian kehilangan gelar kemuliaannya di era kapitalisme. Masyarakat kapitalis menganggap dokter tidak lebih sebagai tenaga kerja yang diupah, atau dibeli, sebagaimana profesi buruh-buruh di pabrik.

Pandangan mulia terhadap dokter telah dilucuti. Dokter tidak lagi dipandang secara eksklusif sebagai profesi mulia. Dokter dianggap sebagai tenaga kerja yang menjual jasa kesehatan, menjual tenaga kerjanya. Borjuasi telah mengubah hubungan mulia warisan jaman lama terkait dokter menjadi hubungan uang.

Apa yang kemudian tersisa dari profesi dokter adalah kuasa pengetahuan tentang kesehatan tubuh dan penyembuhan sakit. Di era kapitalisme, kuasa pengetahuan tentang kesehatan dan penyembuhan tersebut dapat digunakan untuk mendatangkan kekayaan ekonomi dari masyarakat-pasien. Kepemilikan kekayaan ekonomi ini merupakan alat yang menjamin diri dokter untuk tetap berada di posisi prestis pada masyarakat kapitalis.

Bagi kapitalisme, tidak ada profesi yang lebih mulia dibanding profesi lainnya. Semua profesi pada prinsipnya berkedudukan sama. Perbedaan antar manusia hanya ditentukan oleh posisi terhadap kepemilikan kekayaan dan atau kapital. Kapitalisme menggunakan kekayaan sebagai indikator pemeringkat kedudukan istimewa seseorang. Semakin kaya seseorang, maka ia semakin dimuliakan oleh kapitalisme. Oleh karena itu, kekayaan menjadi penting, termasuk bagi dokter.

Salah satu dampak dari hilangnya pandangan supranatural-sakral dan mulia terhadap dokter ialah bahwa kemudian dokter dianggap tidak bisa kebal dari kesalahan dan gugatan hukum. Akibatnya kemudian muncul tuntutan pemidanaan kepada dokter yang melakukan kesalahan. Dokter yang melakukan kesalahan, misal malpraktek, dianggap sebagai pekerja-upahan yang tidak becus. Pekerja-upahan yang melakukan kesalahan harus dikenai hukuman.

Jika saat ini di tengah masyarakat masih terdapat pandangan stratifikasi kemuliaan profesi, maka pandangan ini adalah sisa-sisa warisan nilai-nilai lama. Termasuk anggapan terhadap dokter. Padahal, profesi dokter tidak lebih mulia dibandingkan profesi petani yang menyediakan kebutuhan paling pokok manusia, juga tidak lebih mulia dibandingakan profesi guru yang mencerdaskan murid-murid.***

Catatan:


[1] James Longrigg, 1993. Greek Rational Medicine: Philosophy and medicine from Alcmaeon to the Alexandrians. London and New York: Routledge. Hlm. 6-8.

[2] Marx & Engels, 1962. “Manifesto of The Communist Party” dalam Selected Works, In Two Volumes, Volume I. Moscow: Foreign Languages Publishing House. Hlm. 36. Lihat juga Karl Marx & Engels. 1964. Manifes Partai Komunis. Djakarta: Jajasan Pembaruan. (Diterjemahkan dari: Manifesto of the Communist Party; Manifest der Kommunistischen Partei; Het Communistisch Manifest. Penterjemah: Komisi Penterdjemah Departemen Agitprop CCPKI). Hlm. 53.

Leave a comment