FILM AGORA DAN KESAN TENTANG HYPATIA

Oleh: JIMMY JENIARTO*

Seorang kawan wanita saya, beragama Kristen, mengatakan pernah sejenak terbersit rasa benci pada agama Kristen setelah menonton film “Agora”. Film ini berkisah tentang Hypatia, seorang pemikir matematika dan filsafat yang hidup di Alexandria (Iskandariyah), Mesir tahun 370 M – 415 M.[1] Ada kesan mengerikan yang ditimbulkan oleh film Agora terhadap kawan saya.

Film yang disutradrai oleh Alejandro Amenábar tersebut diluncurkan tahun 2009.[2] Film Agora menghadirkan kembali sosok Hypatia, sosok yang mungkin telah dilupakan banyak orang. Kata “agora” itu sendiri berarti tempat berkumpul atau tempat pertemuan masyarakat umum, dan juga pasar.

Film Agora dibuka dengan kekisruhan di sebuah agora di kota Alexandria. Di tempat tersebut, terjadi perdebatan antara pemeluk Kristen melawan pemeluk agama lama Yunani-Roma-Mesir tentang persoalan ketuhanan. Film Agora diakhiri dengan peristiwa tewasnya Hypatia di tangan orang-orang Kristen tanpa proses pengadilan. Di dalam film Agora, pembunuhan terhadap Hypatia dikisahkan dilakukan oleh sekelompok parabalani atau parabolani, yang merupakan relawan Kristen.[3]

Film Agora secara garis besar merupakan upaya rekontruksi dan tafsir sejarah yang dilakukan oleh sutradara film dan penulis naskah. Namun tentu saja terdapat imajinasi bebas dari sutradara dan penulis naskah yang bermain di dalam film tersebut. Data-data sejarah digabungkan dengan fiksi-fiksi hasil kreasi dari imajinasi penulis naskah dan sutradara.

Film Agora sering dinilai sebagai kisah perjuangan seorang filosof  wanita di dalam suasana pertentangan antara filsafat (pada saat itu, filsafat juga berarti sains) melawan agama. Film yang dibintangi oleh Rachel Weisz ini juga dinilai sebagai kisah dogmatisisme di dalam Kristen yang berbuah pada perlakuan kejam terhadap seseorang yang memiliki keyakinan yang berbeda tentang ketuhanan, dan sekaligus seorang wanita.

Maka kemudian, setelah menonton film Agora, beberapa kalangan menempatkan Hypatia sebagai martyr bagi filsafat, atau sains, dan mungkin bagi kalangan feminis sekaligus. Hypatia dipandang sebagai simbol perjuangan kebebasan berpikir.

Terlepas dari film Agora, anggapan serupa juga pernah dikatakan Carl Sagan terkait Hypatia. Menurut Sagan, Hypatia adalah simbol sains dan kegiatan belajar. Pada era ketika wanita hanya memiliki sedikit pilihan dan diperlakukan sekedar sebagai barang, Hypatia bergerak bebas di dalam lingkungan yang didominasi pria.[4]

Kesan yang ditimbulkan oleh film Agora terhadap kawan saya masih di dalam bingkai yang serupa dengan pandangan Sagan tentang sosok Hypatia dan peristiwa yang terjadi pada Hypatia. Hypatia ditempatkan sebagai pejuang kebebasan berpikir dan berlatar belakang pertarungan rasionalitas filsafat melawan dogma agama.

Jika dilihat di dalam setting sejarah, maka kematian Hypatia sebenarnya sebelumnya telah didahului oleh kontradiksi-kontradiksi yang terjadi di Alexandria pada khusunya dan imperium Roma pada umumnya. Kontradriksi-kontradiksi tersebut antara lain: pertama, Orestes melawan Cyrill, yakni penguasa legal melawan penguasa mayoritas rakyat riil di Alexandria. Bisa disebut juga pertentangan antara penguasa administratif melawan penguasa ideologis Alexandria. Ke-dua, pemikiran agama lama (non-Ibrahimik) melawan pemikiran agama baru (Ibrahimik). Ke-tiga, pemikiran filsafat-sains (kritis) melawan pemikiran agama (dogmatis). Pertentangan antara filsafat-sains melawan agama telah terjadi antara filsafat-sains melawan agama-agama lama (Yunani) di era-era terdahulu sebelum jaman Hypatia (misal Anaxagoras). Ke-empat, pemikiran filsafat-sains melawan pemikiran agama Kristen. Bagi Kristen saat itu, filsafat-sains Yunani dianggap bid’ah. Ke-lima, cara pandang (kebudayaan) plural yang diinspirasi agama lama (politeistik) melawan cara pandang (kebudayaan) singular yang diinspirasi agama baru (monoteistik). Ke-enam, klas bawah melawan klas atas atau elit Alexandria.

Kematian Hypatia merupakan peristiwa persilangan antara persoalan pertarungan pemikiran filsafat dan agama, persoalan politik kekuasaan, dan persoalan kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Namun, film Agora menempatkan fokus penonton film berada pada pertentangan seputar filsafat dan agama, serta seputar politik kekuasaan Orestes dan Cyrill, dan kurang mengeskplorasi kontradiksi keadaan sosial-ekonomi dan psiko-sosial masyarakat Alexandria saat itu.

Jika kawan saya memiliki pemikiran negatif pada agama Kristen setelah menonton film Agora, maka pemikiran negatif tersebut berasal dari kesan tentang kesewenang-wenangan orang-orang Kristen terhadap seorang filosof wanita Yunani di film Agora. Titik tekan analisa ini ada pada kontradiksi antara agama Kristen melawan filsafat, serta antara agama Kristen melawan agama Yunani-Roma-Mesir. Sebab utama segala kekacauan yang terjadi di Alexandria dianggap berasal dari pertentangan-pertengangan antara filsafat Yunani, agama Yunani-Roma-Mesir, serta agama Ibrahimik (Kristen dan Yahudi). Pendapat ini sebenarnya mengulangi anggapan penguasa Roma lama non-Kristen bahwa umat Kristen adalah penyebab kekacauan di wilayah Roma. Anggapan penguasa Roma lama non-Kristen ini mengabaikan fakta bahwa kekacauan yang terjadi di Roma juga memiliki akar pada kondisi sosial-ekonomi masyarakat klas bawah.***

*Penonton film

Catatan:


[1] Sumber informasi tentang Hypatia hingga saat ini didapat dari dua sumber utama, yakni: pertama, tulisan Sokrates Skholastikus yang hidup di Konstantinopel sejaman dengan Hypatia. Kedua, tulisan di dalam Suda, sebuah ensiklopedia yang disusun akhir abad sepuluh masehi. Sumber tambahan lainnya adalah surat-surat yang ditulis oleh Synesius untuk Hypatia maupun untuk orang lain. Synesius adalah uskup di Ptolemais (sekarang Libya) yang merupakan bekas murid Hypatia di Alexandria. Lihat Roger Cooke. 2005. The History of Mathematics, A Brief Course (second edition). Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Hlm. 81.

[2] Naskah ditulis oleh Alejandro Amenábar dan Mateo Gil.

[3] Parabalani merupakan anggota persaudaraan Kristen yang direkrut dari kalangan masyarakat bawah yang menjalankan kerja-kerja relawan, misalnya merawat orang sakit, mengubur orang meninggal, serta sebagai pembantu dan pengawal uskup lokal. Ada juga yang mengatakan bahwa parabalani kadang bertugas sebagai “polisi moral” yang berpatroli di jalanan Alexandria dalam rangka menjaga moral kekristenan masyarakat.

[4] Lihat Carl Sagan. 1997. Kosmos. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. (Judul asli: Cosmos. Penerjemah:  Bambang Hidayat, Djuhana Widjajakusumah, dan S. Maimoen). Hlm. 438.

Leave a comment